Karier panjang saya di olahraga renang diawali dari dukungan orang tua yang mendorong anak-anaknya menekuni olahraga.
Ketika saya dan Felix masih usia SD, orang tua mendaftarkan kami mengikuti berbagai macam les olahraga seperti renang, taekwondo, badminton, basket.
Namun kemudian bakat di olahraga renang lebih menonjol. Kami yang waktu itu berlatih satu kali seminggu dianggap memiliki potensi sehingga pelatih waktu itu, coach Pauline yang juga mantan atlet renang Indonesia, menyarankan kami masuk perkumpulan renang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian kami masuk ke perkumpulan renang Hiu Surabaya, sebuah grup elite di Jawa Timur dan masih eksis hingga kini. Di sana bakat kami terus diasah dan diolah oleh Pak Iskandar Suryaatmaja yang juga pelatih nasional.
Saya dan Felix bersama-sama berlatih, namun Felix yang lebih dulu bisa menembus kelas yang kompetitif. Artinya Felix masuk tim yang dipersiapkan untuk tampil bertanding.
Saya kemudian menyusul masuk ke grup tersebut lantaran 'setengah dikatrol' Felix. Banyak yang beranggapan karena kami kembar seharusnya saya dan Felix punya kemampuan yang sama. Saya pun berusaha dan mampu menyejajarkan prestasi dan catatan waktu seperti Felix.
Tahun berjalan, Felix pun meraih prestasi lebih dulu dari saya. Dia meraih banyak medali di awal masa kemunculannya, sementara saya masih di luar tiga besar. Begitu juga ketika memasuki 1990, Felix masuk tim pelatnas yang dipersiapkan menuju Asian Games, sementara saya belum.
![]() |
Tentu saya senang saja dengan keberhasilan Felix masuk tim pelatnas dan torehan-torehan prestasi lainnya, tetapi di sisi lain keunggulan Felix menjadi tekanan mental buat saya karena banyak orang membanding-bandingkan saya dan saudara kembar saya.
"Bagaimana sih, kok tidak bisa seperti saudara kembarnya?". Pertanyaan itu kerap muncul dari banyak orang.
Lantaran saya dianggap tidak seperti Felix, saya sempat berniat setop dari renang dan mencoba serius di basket. Namun ibu saya menahan dan memberi wejangan.
Beliau waktu itu lebih kurang bilang agar saya jangan berhenti karena saya sudah merintis prestasi begitu jauh, sudah ikut PON dan berbagai latihan. Ibu saya juga memberi rasa percaya diri dengan mengatakan kalau saya dan Felix memiliki kualitas fisik yang sama. Satu hal lagi yang ditekankan oleh orang tua waktu itu adalah mengenai ketekunan dan tidak menyerah.
"Kalau kamu berhenti, kemungkinan itu sudah hilang. Kamu menghilangkan kata-kata 'mungkin' karena kamu setop. Tapi kalau kamu masih lanjut, itu masih ada kata-kata 'mungkin'. Bisa terjadi, bisa enggak, tetapi masih ada harapan," ucap ibu saya waktu itu.
Setelah mendapat nasihat dari ibu, saya kemudian bisa menyusul Felix ke pelatnas dan kami sama-sama tampil membela Indonesia di SEA Games 1991. Pada waktu itu kami sama-sama tampil di nomor estafet dan meraih emas, tetapi saya bisa mengungguli Felix dengan meraih medali di nomor individu terlebih dulu.
Bertahun-tahun usai momen putus asa lantaran komparasi saya dan Felix, muncul momen lain yang membuat saya sempat drop.
Setelah Olimpiade 2000 sebagai atlet saya merasa sudah mendapat semua apa yang diinginkan seperti tampil di berbagai kejuaraan.
Niat pensiun sempat muncul dan saya sudah sempat menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Tetapi ternyata bekerja di belakang meja tidak seperti yang saya bayangkan. Sampai kemudian saya mendapat tawaran kembali berenang dan membela Indonesia di SEA Games 2001 dari pelatih Lisa Siregar.
Setelah SEA Games 1999 yang sukses dengan tiga medali emas di tangan, pada 2001 prestasi saya tidak maksimal karena persiapan yang mepet. Namun saya tetap ingin membuktikan diri sebagai atlet.
Hal lain yang juga mewarnai pasang surut saya sebagai atlet adalah cedera. Masalah khas atlet ini justru tidak saya dapat di saat saya berenang, tetapi saya rasa saat bermain basket.
Saya adalah penggila basket. Saya kenal baik dengan pemain-pemain timnas basket Indonesia tahun 1990-an, seperti Thomas Teddy Kurniadi, Ali Budimansyah, dan lainnya.
Khusus Thomas yang juga juara slam dunk di level nasional pada tahun 1990-an, dia yang mengajari saya dalam hal nge-dunk. Saya ini meskipun cuma 175 cm tapi bisa nombok karena punya lompatan tinggi. Itu saya belajar dari Thomas yang juga bisa nge-dunk meski posturnya tidak tinggi-tinggi banget.
Saya pun sempat main di sebuah tim semipro komunitas orang-orang Filipina ketika masih bersekolah di Amerika Serikat dan menjadi perbincangan karena kemampuan saya 'nombok' padahal badan saya tidak tinggi. Pada waktu di AS itu saya latihan renang dan basket, di situ saya mungkin mulai merasakan cedera.
Awalnya saya rasakan sakit sedikit, sampai kemudian pada 2003 ketika saya latihan di Australia itu sampai ada bunyi di lutut dan itu sakit sekali. Cedera tersebut membuat saya harus menjalani proses pemulihan yang lama setiap habis bertanding. Waktu menuju Olimpiade 2004 saya pun harus berjuang melawan cedera tersebut.
Kisah lain lagi terjadi usai SEA Games 2005. Ketika itu saya masih punya ambisi membela Indonesia pada SEA Games 2007, tetapi di saat yang sama perenang pelatnas tidak boleh tampil membela Pekan Olahraga Wilayah atau Porwil. Sementara saat itu saya bergabung dengan tim Sumatera Selatan.
Lantaran hal tersebut, setelah berdiskusi dengan ketua umum PRSI dan Gubernur Sumsel pada waktu itu Pak Alex Noerdin, saya pun menuliskan surat pengunduran diri dari pelatnas dengan keyakinan akan dipanggil lagi karena saya percaya catatan waktu saya masih bagus. Namun ternyata saya tak dipanggil lagi.
Almarhum Lukman Niode yang saat itu ada di PRSI menyatakan seandainya saya menulis surat kesediaan bergabung kembali, pasti saya dipanggil lagi ke pelatnas.
Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Karena miskomunikasi itu saya batal memperkuat Indonesia di SEA Games 2007. Saya pun kemudian diarahkan menjadi pelatih dan hingga saat ini saya menjadi sosok di balik layar tim renang Indonesia.
(nva/har)