Liverpool dan Leicester City bisa memberikan contoh yang bagus untuk Manchester United pada musim 2022/2023.
The Reds menunjukkan buah kesabaran dari proses yang matang sedangkan The Foxes menampilkan soliditas dan efektivitas.
Tidak akan ada yang menyangka Leicester, yang baru promosi ke Premier League 2014/2015, langsung juara pada musim 2015/2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak tanggung-tanggung, Leicester juara dengan selisih 10 poin atas Arsenal. Selisih itu menunjukkan Leicester tim yang tangguh pada musim tersebut.
Man Utd yang pada musim ini tersiar tengah luluh lantak bisa meniru langkah-langkah tersebut. Dan tidak perlu malu sekalipun harus menyontek Liverpool, rival abadi di Liga Inggris.
Pada musim kedua atau musim penuh pertama di Liverpool, 2016/2017, Jurgen Klopp melakukan perombakan besar dengan melepas sejumlah pemain yang pernah jadi pilar The Reds: Joe Allen, Christian Benteke, Martin Skrtel, termasuk Mario Balotelli.
Perekrutan Klopp kala itu dengan pendanaan yang tidak besar terbilang efektif: Sadio Mane, Joel Matip, Georginio Wijnaldum. Dua pemain pertama adalah andalan Liverpool hingga saat ini.
![]() |
Musim-musim berikutnya Klopp mulai melengkapi kepingan-kepingan di skuad Liverpool dengan Andrew Robertson, menjual Philippe Coutinho untuk membeli Virgil van Dijk dan Alisson Becker, serta perekrutan lain.
Hasilnya selama enam setengah tahun terakhir Liverpool bisa kembali juara Liga Inggris, Liga Champions, Piala Dunia Antarklub dan gelar domestik lain.
Anggaplah musim ini skuad Man Utd sama dengan Liverpool yang dimiliki Klopp pada separuh musim 2015/2016 saat pertama datang ke Anfield.
Perombakan akan dilakukan Ten Hag karena kontrak sejumlah pemain habis akhir musim ini, dan sebagian lain ingin pergi dari Old Trafford.
Caretaker Ralf Rangnick sudah memberikan jalan lewat beberapa pemain muda yang bisa diandalkan: Anthony Elanga dan Hannibal Mejbri. Ten Hag juga punya potensi mempromosikan pemain muda lain dari akademi Man Utd.
Apabila memilih jalan Liverpool di atas, MU harus siap bersabar lagi untuk belum tentu juara. Karna Klopp sendiri baru menuai hasil pada musim penuh ketiga atau setelah tiga setengah tahun direkrut dengan juara Liga Inggris 2018/2019.
![]() |
Pada musim pertama Klopp runner up Piala Liga Inggris dan Liga Europa 2015/2016, tanpa hasil bagus di 2016/2017, lalu runner up Liga Champions 2017/2018.
Atau jika ingin sedikit beruntung bisa meniru jalan Leicester City ketika juara Premier League 2015/2016. Dengan perekrutan dan taktik yang tepat, Leicester yang ketika itu dilatih Claudio Ranier jadi tim yang begitu mengejutkan.
Pembenahan di lini pertahanan bisa jadi salah satu fokus Ten Hag dalam masalah starter. Dilanjutkan ke sektor gelandang bertahan, hingga menguatkan serangan The Red Devils.
Perekrutan ini tidak harus dengan biaya transfer yang besar. Ten Hag hanya perlu mengerahkan pemandu-pemandu bakat dalam mencari 'pemain gratis' yang akan cocok untuk gaya bermainnya.
Pada 2015/2016 atau semusim setelah promosi dari Divisi Championship The Foxes punya serangan yang impresif di Premier League lewat Jamie Vardy sebagai andalan di lini depan. Kontribusi Vardy tidak lepas dari peran kedua sayap: Riyad Mahrez dan Marc Albrighton.
Dalam menangkal serangan sebelum masuk ke pertahanan, Leicester punya N'Golo Kante yang juga pemain baru di musim 2015/2016. Sedangkan bek Robert Huth jadi palang pintu yang membantu gawang Kasper Schmeichel tidak banyak dibobol lawan.
Sekalipun ditinggal banyak pemain pada musim depan, Ten Hag tidak perlu khawatir karena masih punya sejumlah bintang yang bisa diandalkan macam David de Gea, Raphael Varane, Jadon Sancho, Bruno Fernandes, hingga Cristiano Ronaldo jika tetap bertahan di Old Trafford.
Dalam skuad tersisa itu pelatih asal Belanda tersebut hanya perlu menyeleksi mana saja pemain yang tetap setia dengan dengan Man Utd dan ingin ikut aturan main yang dimilikinya.
Persoalan utama Ten Hag saat ini, menurut media-media Inggris, adalah ego dari para bintang Man United itu sendiri. Sehingga timbul situasi yang tidak harmonis di ruang ganti, dan berdampak pada permainan di lapangan.
Setelah masalah ego teratasi, giliran Ten Hag mencocokkan mana saja pemain yang akan 'klik' dengan taktiknya. Yang tidak cocok bisa dijadikan pelapis atau dijual pada bursa trasnfer tengah musim guna mendatangkan pemain yang pas.
Memperbaiki kinerja dan permainan Man Utd di lapangan pada musim depan bisa jadi target realistis Ten Hag di tengah keterpurukan saat ini. Kalaupun sampai bisa bersaing juara dan mengangkat trofi, anggaplah sebagai keajaiban atau mukjizat.