Malang, CNN Indonesia --
Berbagai kesaksian-kesaksian Aremania telah terungkap usai kejadian Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang. Berikut kesaksian-kesaksian korban selamat dalam Tragedi Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu (1/10) telah menewaskan 125 orang. Tragedi ini menjadi perhatian di seluruh dunia karena menjadi kerusuhan sepak bola yang menelan korban jiwa terbesar ketiga dalam sejarah.
Sejumlah Aremania dan penonton pertandingan telah berkenan berbagi cerita pilu akan tragedi yang menelan ratusan korban jiwa itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu suporter Arema, Luki (24),tampak lesu kala harus mengingat kembali tragedi kelam.
"Terlalu kelam kalau diceritakan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (2/10) malam.
Kala itu, ia melihat banyak orang berusaha menyelamatkan diri usai aparat menembakkan gas air mata ke arah tribune penonton. Terutama, para penonton perempuan dan anak-anak.
Namun, kata Luki, upaya menyelamatkan diri dengan bergerak arah pintu keluar stadion justru membuat mereka berdesak-desakan, terjatuh, dan terinjak oleh suporter lainnya.
"Kan pada menyelamatkan diri, jadi di situ banyak yang jatuh, berdiri, keinjak lagi," ujarnya.
Bahkan Luki menceritakan salah satu rekannya sempat berupaya menyelamatkan seorang perempuan saat kericuhan terjadi. Namun, nahas, perempuan itu justru menjadi salah satu korban meninggal dalam insiden ini.
Ia juga mempertanyakan soal alasan penutupan pintu stadion. Padahal, lanjutnya, 15 menit sebelum pertandingan usai, pintu biasanya sudah dibuka.
"Logikanya kenapa harus ditutup, biasanya sebelum pertandingan selesai 15 menit itu sudah dibuka semua, jadinya kan pada berebut menyelamatkan diri," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]
Tak hanya Luki, penonton lainnya bernama Ian juga ingin menangis jika mengingat kejadian mengerikan tersebut.
"Mau nangis rasanya kalau ingat kejadian itu," kata Ian.
"Waktu itu jumlah polisi yang berjaga banyak. Lebih banyak dari pertandingan biasanya. Mungkin karena pertandingan lawan Persebaya ya, jadi banyak polisinya. Semua lancar dari awal," ucap Ian menjelaskan.
Begitu pertandingan selesai, tak ada tanda-tanda akan ada kericuhan. Seperti biasa saat kalah, penonton mengumpat. Mereka memaki-maki pemain untuk meluapkan kekesalan.
Namun begitu sejumlah penonton di tribune selatan atau gate 7-8 masuk ke lapangan. Situasi mulai tidak kondusif. Polisi yang menghalau suporter kembali ke tribune mulai melakukan aksi kekerasan dengan memukul.
Penonton yang melihat ada tindak kekerasan, tersulut emosinya. Dalam situasi itu polisi menembakkan gas air mata. Menurut Ian tembakan awal di arahkan ke tribune selatan atau gate 7-8.
Suara dor, dor,dor, tanda gas air mata dimuntahkan pun bersahutan. Jumlahnya puluhan kali. Kontan asap membumbung dan beterbangan terbawa angin ke segala arah mengkontaminasi segenap ruang udara.
"Setelah tribune selatan tembakan menyusul ke timur. Itu tribune belakang gawang yang gate 14, 13, 12, 11. Kan banyak korban di situ. Itu yang buat panik. Gas air mata. Itu kan bikin perih dan sesak," kata Ian.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Sementara itu seorang Aremania, Eko Prianto (39 tahun) mengusap matanya yang basah saat bercerita soal Tragedi Kanjuruhan.
Dengan terisak dia mengaku tak kuat menceritakan kejadian memilukan yang ada di depan matanya pada Sabtu (1/10) malam lalu.
Eko mengatakan malam itu dia sengaja tak masuk ke stadion, meski tiket sudah di tangannya. Dia lebih memilih menemani kawannya yang tak punya tiket.
"Tanggal 1 Oktober, saya punya tiket, tapi saya tidak masuk. Saya ada di luar, saya dan teman saya cuma keliling di luar stadion," kata Eko kepada CNNIndonesia.com di Malang, Senin (3/10).
Eko kemudian berkeliling untuk mengamati kondisi. Ia melihat banyak sekali aparat berjaga-jaga di sekitar StadionKanjuruhan.
Saat itu kondisi masih aman bahkan sampai peluit panjang akhir babak kedua dibunyikan. Namun tak berapa lama, Eko mengaku mendengar suara letupan gas air mata dari arah dalam.
"Setelah peluit dibunyikan masih keadaan kondusif. Saya berpikir, alhamdulillah meskipun kalah Aremania mereka sudah dewasa. Tapi beberapa menit kemudian ada suara seperti tembakan beberapa kali," ujarnya.
Ia pun mendekat ke gerbang stadion, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Ternyata yang ia dapati adalah gedoran dari arah dalam dilanjutkan teriak-teriakan minta tolong.
"Saya berada dekat gate 10, di situ pertama kali saya dengar ada suara gedor-gedor pintu, suara minta tolong, suara jeritan," ucapnya.
Ia kemudian melihat seorang perempuan sudah tak sadarkan diri. Eko dan kawannya pun mengevakuasi perempuan tersebut ke tempat yang lebih aman.
"Pertama kali saya lihat ada perempuan sudah lemas, pingsan. Sama rekan-rekan ditolong. Setelah itu satu, dua, tiga, jumlah korban terus bertambah. Saya menolong ada lima orang," kata dia.
Eko kemudian melihat hal yang lebih parah di gate 13 dan 14. Di sana dia menyaksikan sendiri banyak perempuan dan anak-anak yang tergeletak. Posisinya bertumpukan.
Dia mencoba membuka paksa pintu gerbang gate 13, dengan segala cara. Tapi upayanya itu tak berhasil karena pintu hanya terbuka sebagian.
Di tengah cerita, Eko kemudian tak bisa meneruskan perkataannya. Tangisannya pecah, dia hanya bisa tertunduk.
[Gambas:Video CNN]
Beberapa saat setelah kerusuhan terjadi di Tragedi Kanjuruhan dalam laga Arema FC vs Persebaya, Aremania menyebut ambulans tak bisa masuk ke sekitar stadion, Sabtu (1/10) malam.
Pendukung Aremania Yoyo Sugiarto mengatakan saat itu tak ada ambulans yang masuk ke sekitaran stadion. Kondisi dan situasi tak memungkinkan untuk tenaga medis masuk ke wilayah konflik.
"Ambulans enggak bisa masuk. Keadaan di luar stadion kacau. Saya saja ungsikan bapak yang sudah tua ke luar stadion naik motor. Setelah dua kilo, bapak saya tinggal. Saya balik ke stadion. Banyak yang butuh pertolongan," kata Yoyo.
Di dalam stadion memang ada ambulans dan tenaga medis, namun tak bisa berbuat banyak. Jumlah orang yang terdampak kerusuhan sangat banyak sehingga tak bisa tertangani.
Dalam situasi ini tim medis klub, dalam hal ini Arema FC, ikut membantu para korban. Saat kejadian puluhan orang yang kepayahan dan pingsan dibawa masuk ke ruang ganti pemain.
Dalam situasi seperti itu motor menjadi kendaraan alat evakuasi paling bermanfaat. Mereka yang butuh pertolongan cepat dilarikan dengan motor, sedang yang masih bisa berjalan berlindung di sekitaran stadion.
Yoga, Aremania yang sengaja datang ke Kanjuruhan untuk melihat kondisi mengakui hal serupa. Ia dan rekannya hadir di stadion dalam pertandingan itu mengaku tak melihat ambulans beberapa saat setelah kerusuhan.
"Kebanyakan sesak nafas. Gas air mata yang terhirup kan membuat sesak. Kami berusaha menyelamatkan diri sambil membantu mereka yang butuh bantuan dengan sebisanya," ucap Yoga.
[Gambas:Photo CNN]