Jakarta, CNN Indonesia --
Parjo --bukan nama sebenarnya-- masih sangat polos ketika baru masuk Badan Liga Indonesia (BLI) dan langsung bersentuhan dengan mafia bola.
Ketika itu dia memegang jabatan cukup penting di BLI, perusahaan yang menjadi cikal bakal PT Liga Indonesia Baru (LIB). Suatu ketika ia diberi tugas menjadi administrasi wasit menggantikan rekannya yang sedang berhalangan.
Hari itu, di kantor BLI, Parjo mendapat surat penugasan wasit untuk pertandingan Liga Super dan Copa Dji Sam Soe. Saat dicek ternyata wasit tersebut bertugas dua kali dengan tim yang sama dalam sepekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wasit yang ditunjuk, dua kali memimpin pertandingan Persitara Jakarta Utara. Merasa ada yang salah, Parjo langsung merevisi wasit yang bertugas.
"Surat penugasan itu saya terima. Saya cek dulu dong. Loh ini ada nama wasit, kok memimpin Persitara dua-duanya? Enggak boleh dong, satunya Liga, satu Copa. Langsung saya anulir," kata Parjo.
Parjo kemudian melapor ke atasannya dan dia bilang: "Ya, bener ini enggak boleh. Ya sudah, ganti."
Surat yang ditandatangani Direktur Utama BLI itu lantas dikirim lewat faks. Tak sampai setengah jam, telepon genggam Parjo berbunyi. Tak dinyana, yang berbicara adalah sosok orang lama di sepak bola. Sebut saja namanya Bos Besar. Sosok yang juga pernah menjabat sebagai petinggi operator Liga Indonesia.
Merasa punya kekuasaan lebih, Bos Besar menanyakan alasan Parjo mengubah susunan wasit yang bertugas memimpin pertandingan Persitara. Sejurus kemudian, Parjo diminta menghadap atasannya kembali.
"Saya kan belum ngerti dulu. Ya sudah saya temui atasan saya. Beliau bilang si penelepon marah karena saya ubah nama wasit. Lalu saya diminta ubah kembali nama wasit yang ditugaskan awal. Lalu saya diminta ke Kuningan untuk mengawal pertandingan," ucap Parjo mengisahkan.
[Gambas:Video CNN]
Karena kasus ini, Parjo tak bertahan lama di BLI. Ia lantas memutuskan keluar dan akhirnya bergabung dengan manajemen salah satu klub di Indonesia.
Saat PSSI reinkarnasi pada masa kepemimpinan Edy Rahmayadi, selepas dibekukan FIFA, Parjo masih penasaran dengan kiprah mafia wasit. Ia lantas meminta adik iparnya untuk membuktikan kebenaran.
Sang adik ipar diperkenalkan dengan seorang runner (penghubung antara wasit dan mafia wasit). Lewat sosok ini ia melakukan pemesanan hasil salah satu pertandingan di Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016.
 Kinerja wasit kerap menjadi sorotan karena sederet keputusan kontroversial. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA) |
Adik ipar Parjo saat itu meminta skor 3-2 untuk kemenangan salah satu klub dan klub lawan mendapat kartu merah. Ternyata hasilnya sesuai dengan pesanan.
"Aturnya lewat runner. Runner itu ke Bos Besar. Adik saya pesan, kartu merah si [pemain] ini, golnya 3-2. Kata Bos Besar: 'oke bisa'. Adik saya waktu itu bayar Rp150 juta," kata Parjo.
"Bos besar ini mungkin tidak tahu si pemesan adalah adik saya. Makanya enggak ada yang tahu. Adik saya laporan, 'Benar, sesuai. Kartu merah menit sekian si [pemain] ini.' Seperti itu," Parjo mengisahkan.
Berlanjut ke halaman kedua >>>
Kisah relatif sama sepertinya tidak banyak berubah di era Liga 1. Akmal Marhali, pendiri Save Our Soccer (SOS), menunjukkan bukti praktik mafia wasit di sepak bola Indonesia kepada CNNIndonesia.com.
Ditemui di kawasan Bintaro pada Senin (6/3), Akmal membacakan hasil komunikasinya dengan istri wasit nasional soal praktik mafia wasit.
Nama-nama seperti A, YL, Y, serta Andes Lestyanto disebut Akmal. A adalah wasit asal Riau, Y adalah referee assessor PSSI, dan Andes adalah Head of Development Referee PSSI.
"Kalau untuk daerah Sumatera Barat biasanya minta bantu tugas ke A. Rata-rata wasit Sumatera tahu permainan A ini. A ini biasanya koordinasi dengan Y," Akmal membacakan.
"Kalau orang PSSI yang di departemen wasit itu namanya Andes. Dia [istri wasit] tahu Andes itu dari seorang wasit senior di Jawa. Jadi wasit-wasit Sumatera minta bantu ke A," ucap Akmal.
Mantan jurnalis yang kini menjadi staf khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin ini menyatakan datanya valid. Ia tak membeberkan identitas wasit, tetapi memastikan bukan anonim.
Ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Andes Lestyanto mengaku tak mau menanggapi tudingan tak berdasar. "Saya tidak mau menanggapi," ujarnya singkat.
Mengklaim pegang bukti-bukti, Akmal menolak istilah bahwa mafia wasit itu ibarat kentut. Baginya mafia wasit itu nyata dan bisa ditangkap. Kisah 2018, ketika 15 orang disikat Satgas Mafia Bola, jadi bukti.
 Erick Thohir berjanji membenahi masalah pelik wasit Indonesia. (Dok PSSI) |
Sebab itu pula Akmal berharap pemimpin baru PSSI, Erick Thohir berani berbuat hal nyata. Slogan 'nyali' yang digaungkan Erick sebelum terpilih, harus dibuktikan secara konkret.
"Yang selama ini terjadi, wasit kita itu, pemain, pengurus, justru mereka yang mendapat hukuman berat [jika melaporkan]. Itu yang membuat orang takut," kata Akmal dengan berapi-api.
"Sekarang kalau mau PSSI tinggal buka call centre secara transparan untuk mengadukan sepak bola terkait pengaturan skor, tapi diamankan posisinya [sang pelapor] sebagai whistle blower," ucapnya menambahkan.
Berlanjut ke halaman selanjutnya >>>
Akmal Marhali bahkan menyebut nama Iwan Budianto, Yunus Nusi, dan Juni Rahman, punya 'orang' di departemen wasit. Akmal pun berani membuktikan bahwa nama-nama inilah yang mengendalikan wasit di kompetisi.
"Ini problem sepak bola kita. Manajemen [klub] ada yang main, pemainnya juga ada yang main. Cuma kalau kita ingin membongkar, kita harus punya keberanian 1.000 kali lipat," katanya.
Dua solusi yang ditawarkan Akmal. Pertama, menghidupkan Satgas Antimafia Bola yang sempat aktif. Kedua, sadap dan telisik hari-hari wasit yang akan memimpin pertandingan.
 Satgas Anti-Mafia Bola pernah menangkap tersangka pengaturan skor. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Akmal berharap Erick bisa membuat gebrakan besar untuk memberangus penyakit akut mafia bola. Alih-alih fokus mengubah format kompetisi dan nama liga yang kurang substansial.
"Apa yang bisa jadi warisan pak Erick nantinya? Satgas mafia bola sudah pernah, Badan Tim Nasional juga sudah pernah, komite infrastruktur juga sudah ada. Cuma namanya saja berbeda," kata Akmal.
"Kan sudah dibentuk satgas mafia bola. Coba diefektifkan segera. Hingga saat ini kita enggak tahu siapa personalianya. Atau bikin call center khusus pengaduan mafia bola. Jangan sampai ini hanya seremonial," ujarnya.
Juni Rahman yang saat ini menjabat sebagai anggota Exco PSSI membantah tudingan Akmal. Bahkan Juni mengaku siap dikonfrontir dengan Akmal.
"Narasumber ini siap tidak dikonfrontir langsung dengan saya? Jangan cuma di media. Saya itu tidak di Komite Wasit, tidak urus wasit, bagaimana saya bisa terkait dengan wasit," kata Juni.
CNNIndonesia.com telah berusaha menghubungi Iwan Budianto dan Yunus Nusi baik melalui layanan pesan singkat maupun panggilan telepon, tapi tidak mendapatkan respons hingga artikel ini diturunkan.
[Gambas:Video CNN]