Loudry Maspaitella, Legenda Dua Zaman Timnas Voli Indonesia

Loudry Maspaitella | CNN Indonesia
Rabu, 16 Agu 2023 19:15 WIB
Loudry Maspaitella jadi salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. (CNN Indonesia/Muhammad Ikhwanuddin)
Jakarta, CNN Indonesia --

Saya empat kali meraih medali emas SEA Games yaitu pada 1991, 1993, 1997, dan 2003. Tetapi kalau ditanya yang mana yang paling berkesan, maka jawabannya SEA Games 1991 lalu kemudian SEA Games 1997.

Jelang SEA Games 1991, saya baru masuk ke tim senior pada 1990 setelah tahun-tahun sebelumnya berkiprah di tim junior. Di SEA Games 1989 sebenarnya saya dapat panggilan, namun kemudian karena saya dirasa masih dibutuhkan oleh tim junior dan di tim senior masih ada Chandra Halim, nama saya tidak ikut serta dalam SEA Games 1989.

Saya mulai menapak jejak karier di senior sejak 1990. Saat itu mulai banyak pembicaraan tentang pertarungan antara saya yang dianggap tosser masa depan melawan Chandra Halim yang merupakan tosser terbaik Indonesia.

Tetapi Chandra Halim ternyata mengundurkan diri. Dia ingin usaha baru dan tidak mau masuk ke tim nasional lagi. Otomatis semua orang lalu mengarahkan sorotan pada saya.

Dalam bayangan saya, ini tim juara SEA Games loh. Berarti saya masuk tim juara, notabene saya harus bisa melayani mereka sebaik Chandra Halim dan jadi juara. Aduh itu bebannya berat.

Final SEA Games 1991 itu kita menang 3-2 lawan Thailand. Itu pertandingan terberat, paling membuat stres dalam sejarah voli saya. Sejak final itu, membuat saya tidak pernah lagi merasakan ketegangan lagi saat menghadapi pertandingan-pertandingan voli di tahun-tahun berikutnya.

Loudry Maspaitella empat kali meraih medali emas SEA Games. (Dok. CNN Indonesia)

Aduh final itu berat banget. Namanya Indonesia sebagai juara bertahan, Thailand pasti ingin mengalahkan Indonesia. Sejak awal 1991, beberapa kali kami try out bertemu Thailand, kami kalah. Mereka tentu juga ingin juara SEA Games. Jadi saat Indonesia bertemu Thailand di final SEA Games 1991, secara psikologis memang berat.

Kami unggul 1-0 lalu dikejar. Kemudian kami malah ketinggalan 1-2. Berat karena saat itu sistem juga masih menggunakan sistem pindah bola. Di set keempat kita juga sempat ketinggalan 7-8 dan 9-11.

Di set kelima, kejar-kejaran. Kalau gak salah, kami menang 16-14. Tetapi saat itu kami tidak ada yang melompat gembira. Karena terlalu stress. Semua penonton tidak ada yang lompat. Saya ingat kok, histerisnya penonton itu antiklimaks. Cuma peluk-pelukan sambil menangis.

Lalu kenapa yang berkesan berikutnya adalah SEA Games 1997? Karena di SEA Games 1995, Thailand melakukan perubahan besar-besaran sementara saat itu Indonesia sedang masa transisi. Indonesia jumpa Thailand, jauh kualitasnya.

Saya mulai berpikir bahwa ini adalah eranya Thailand. SEA Games 1997 kan di Jakarta, aduh kita malu ini. Gak bisa ngejar. Itu yang saya pikirkan.

Gak punya waktu. Dengan pola main dan teknik seperti itu. Kita sepertinya harus siap malu.

Lalu masuklah Li Qiujiang alias Mr.Li. Di tangan Mr. Li, teknik saya disempurnakan. Cara bermain voli saya, di tangan Mr. Li benar-benar berubah. Dia juga mengubah voli Indonesia.

Seperti yang saya bilang, awalnya di 1996 saya merasa kualitas Indonesia dengan Thailand sudah jauh. Namun setelah kedatangan Mr. Li, di beberapa kejuaraan sudah mulai imbang. Para pemain sudah bisa memahami permainan voli Thailand.

Mr. Li itu latihannya berat sekali. Baik dari segi fisik maupun mental. Namun semua alumni SEA Games 1997 pasti mengakui bahwa baru pada momen itu kami semua punya badan dan fisik yang ringan. Cara lompat, bergerak, memang enak banget saat itu.

Saat itu, kadang kalau saya dengar penonton bersorak dan tepuk tangan di gedung, saya seolah membatin, "Lu cuma lihat di Gedung, cuma liat ujungnya. Padahal pas latihan pemain banyak yang nangis karena tersiksa." Hahaha..

Setelah juara di SEA Games 1997, saya tidak ikut tim nasional di SEA Games 1999 dan 2001. Saya sudah diterima bekerja di BNI pada 1995. Saat itu jadi pegawai bank memang impian saya karena kakak dan kakak ipar saya kerja di bank. Lalu saya berharap bisa dapat kerja di bank melalui prestasi di voli dan akhirnya saya diterima di BNI.

Tahun 1999 saya juga menikah dan ada waktu untuk melanjutkan S2. Lulus S2 di 2001 dan saya sudah bersiap untuk pengembangan karier saya sebagai pegawai bank.

Saat itu, di SEA Games 1999 dan 2001, Indonesia tidak bisa berprestasi. Di SEA Games 2001 bahkan bisa dibilang Timnas Voli Indonesia hancur dari segi prestasi. Karena itulah, Mr. Li yang sudah pulang ke China dipanggil balik untuk kembali melatih Indonesia untuk SEA Games 2003.

Lalu Mr. Li bilang bahwa dia mau melatih Timnas Indonesia, asal tosser-nya Loudry. Padahal saat itu saya sudah berpikir saya sudah pensiun dari tim nasional.

Sudah dua SEA Games saya tak dipanggil. Begitu juga dengan sejumlah ajang internasional lainnya. Memang, saat itu saya masih ikut main di PON membela Jawa Timur dan berhasil jadi juara.

Saya juga pernah dengar ada omongan-omongan bahwa Loudry sudah menikah, punya anak, dan jarang main voli. Lalu Mr. Li bilang bahwa ke orang-orang itu bahwa Loudry tidak perlu latihan enam bulan. Cukup tiga bulan, yang penting latihannya sama Mr. Li.

Saya itu punya utang budi sama Mr. Li. Karena itu dia gak perlu minta sama saya untuk bergabung ke tim nasional. Padahal saat itu saya sudah mulai melupakan tim nasional, bukan dalam artian kecewa, melainkan karena sudah mulai komitmen berkarier di BNI.

Akhirnya tiga bulan saya latihan bersama Mr. Li. Eh, berhasil juara SEA Games lagi.

Karena juara lagi, saya terpilih lagi di SEA Games 2005. Padahal saat itu saya sudah mulai pendidikan untuk calon pimpinan di tempat kerja.

Saya itu terlalu lama di tim nasional. Kebanggaan itu hilang berganti jadi rasa malu. Pada SEA Games 2003, pesaing-pesaing saya di Thailand dan Filipina sudah jadi asisten pelatih dan pelatih sedangkan saya masih main.

Dari sisi pembinaan, voli Indonesia tentu terbilang tidak bagus karena saya masih main. Jumlah manusia Indonesia ada 200 juta, masa nyari tosser satu gak bisa, kok masih mengharapkan Loudry. Itu yang ada di pikiran saya.

Loudry Maspaitella mengaku punya utang budi terhadap Mr. Li. ( Arsip Istimewa via detikcom)

Tetapi karena Mr. Li masih jadi pelatih, akhirnya saya luluh. Indonesia jadi runner-up di SEA Games 2005.

Saat itu saya tegaskan bahwa ini terakhir kalinya ya saya main, saya sudah malu. Memang bukan saatnya lagi. Antusias saya di lapangan sudah tidak seperti dulu.

Untuk SEA Games 2007, setahun sebelumnya saya juara Proliga. Itu saya dipanggil lagi. Pelatihnya saat itu Mr. Hu Xinyu. Saya sudah bilang ke PBVSI, yang muda-muda saja.

Kalau di BNI, bagi saya tidak ada kata pensiun. Saya disuruh main voli, itu penugasan. Sampai umur 40, 45, bahkan sampai patah kaki pun kalau BNI yang minta saya harus lakukan. Karena ini tempat kerja saya.

Tetapi kemudian ada pendekatan lewat BNI untuk tim nasional dari PBVSI. Saya lalu merasa harus datang ke pemusatan latihan karena saya tidak enak. Ini masalahnya perintah, saya tidak enak menolaknya.

Lalu pimpinan saya di BNI bilang bahwa saya harus berani bilang berhenti di voli. Karena di tempat kerja sedang ada pendidikan pimpinan dan saya bisa ikut ke sana.

Saya lalu bergabung ke pemusatan latihan dan bilang ke Mr. Hu bahwa saya datang karena menghormati pimpinan. Tetapi saya bilang jangan pilih saya karena saat itu adalah saatnya tosser-tosser junior yang tampil.

Terlepas itu karena saya sudah meminta atau tidak, saya pada akhirnya tidak terpilih. Praktis itu terakhir kalinya saya terlibat di kegiatan tim nasional.


Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>

Atlet Multi Cabang yang Akhirnya Jatuh Cinta ke Voli


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :