Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melihat peluang akan pertumbuhan ekspor Indonesia di tengah sepinya pasar otomotif Australia. Hal tersebut, setelah secara banyaknya produsen otomotif secara perlahan menutup pabriknya di Australia.
Tercatat, dua produsen otomotif dipastikan akan mematikan lampu pabriknya di negara kangguru tahun ini seperti, Toyota dan Holden.
"Australia ini pasar mobilnya sudah nyerah dia, dia pabrik semua tutup, Toyota juga kan mau tutup juga tahun ini. Nah, ini kesempatan yang bagus bagi Indonesia untuk masuk di pasar Australia," kata Airlangga, Kamis (9/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Airlangga, saat ini tanah air tidak memiliki perakitan kendaraan dengan segmen pasar Australiam. Dalam negeri kini hanya fokus memproduksi kendaraan berjenis
Multi Purpose Vehicle (MPV) atau
Sport Utility Vehicle (SUV) hingga
Low Cost Green Car (LCGC).
Sedangkan, Australia sendiri lebih ingin kendaraan berjenis sedan, doble cabin atau mobil berpenggeral 4x4. Dengan itu maka pemerintah masih perlu berpikir ulang untuk lebih memperbanyak produksi sedan agar dapat melakukan ekspor ke Australia.
"Jadi masih perlu dikaji lagi bagaimana caranya supaya kami dorong sedan itu untuk ekspor," katanya.
Bagi dia, pesaing langsung Indonesia untuk jumlah ekspor mobil, yakni Thailand. Bahkan, Holden yang berencana hengkang dari Australia tahun ini tengah mempertimbangkan akan membuka pabriknya antara Indonesia maupun Thailand.
Airlangga menyebut, total produksi ekspor mobil Thailand sepanjang tahun lalu telah mencapai satu juta mobil. Sementara, total ekspor mobil Indonesia baru mencapai 200 ribu tahun lalu. Pihaknya menargetkan adanya peningkatan ekspor mobil tahun ini paling tidak lebih tinggi 10 persen.
"Hingga 2019, Indonesia bisa produksi mobil sampai dua juta," jelas dia.
Australia saat ini memang sedang menjadi incaran bagi negara lain dalam ekspor kendaraan. Namun, hingga kini Indonesia belum melakukan upaya dalam merebut pasar di sana yang terbilang besar, yakni 1,2 juta unit setiap tahunnya.
Sementara, di tempat terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi mendesak agar secepatnya pemangku kepentingan untuk mengubah kebijakannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) mengenai dukungan terhadap mobil sedan.
Mengingat, pajak yang dibebankan saat ini untuk sedan sudah dimasukan kepada barang mewah. Misalnya, sedan dalam kelas bawah pun dikenakan sebesar 30 persen, padahal MPV jenis premium tetap 10 persen.
"Kalau PP bisa mendukung kendaraan sedan dan segala macam, pasti pabrikan akan, oh marketnya gede dan akan bikin pabrik sedan di Indonesia. Kalau ada pabrik sedan di Indonesia, otomatis bisa siapkan sedan untuk ekspor. Nah itu akan membuka market ekspor kita," kata dia.
Ia mengaku, sudah melakukan pertemuan dalam membahas hal tersebut dengan pemerintah. Gaikindo sendiri berjanji akan menyelesaikan kajiannya bersama LPM Universitas Indonesia (UI) dan membawanya ke pemerintah tahun ini.
"Makanya kami kerjasama dengan LPM UI untuk kajiannya. Kan suapaya bisa diturunin pajaknya sebelah sini, dampaknya kepada pemerintah seperti apa, sedang diberesin," kata dia.
Juga Terkendala Euro 4Tidak hanya jenis produksi kendaraan yang menghambat ekspor saat ini. Melainkan juga belum adanya produsen otomotif tanah air memproduksi kendaraan berstandar Euro 4, yang mana standarisasi kendaraan secara global telah menganut Euro 4, bahkan lebih. Sedangkan Indonesia masih berstandarisasi Euro 2.
Dengan meningkatkan standarisasi kepada Euro 4, menurut Nangoi, tentunya tidak hanya akan berdampak pada hasil gas buang yang dikeluarkan oleh kendaraan, tetapi juga dapat menggenjot ekspor.
"Karena dengan Euro 4 itu kendaraan akan lebih bersih untuk manusia juga lebih baik, terus industri juga lebih efisen dan menggenjot pasar ekspor juga," ujarnya.
Padahal, ia melanjutkan, dalam proses perakitan kendaraan berstandar Euro 4 lebih mudah. Mengapa demikian, semisal membeli kendaraan dari negara lain semua sudah bermesin Euro 4, jika dibawa ke Indonesia otomatis akan diturunkan ke Euro 2.
"Karena buat kami Euro 4 itu lebih mudah dari dua. Karena, saya beli mobil atau bikin mobil sebagian dari Jepang dan Korea mereka udah Euro 4 ke atas. Kalau mau bikin Euro 2 saya musti turunin dulu," katanya.
Terpenting, Nangoi memastikan, bahwa seluruh anggota Gaikindo sudah siap jika diminta untuk merubah standarisasi kendaraan menjadi Euro 4. Tinggal bagaimana pemerintah maupun Pertamina memastikan akan ketersediaan bahan bakar khusus Euro 4.
"
Nah, itu urusan pemerintah (janji Pertamina untuk bahan bakar Euro 4), nanti saya salah lagi," kata dia.
(tyo)