Jakarta, CNN Indonesia -- Jelang penerapan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No 32 tahun 2016, Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, segera memberlakukan pembatasan kuota taksi online.
"Sekarang ini, persoalan antara transportasi konvensional dan 'online' di seluruh Indonesia memang lagi hangat. Tidak hanya di Semarang," kata Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi di Semarang, seperti dikutip Antara.
Pada hari Rabu ini sempat pula terjadi ketegangan antara pengemudi transportasi konvensional, yakni taksi dan ojek yang biasa mangkal di Stasiun KA Poncol Semarang dengan pengemudi transportasi "online".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendi, sapaan akrab Hendrar Prihadi, mengakui ada perasaan tidak nyaman dari pelaku transportasi konvensional yang mungkin merasa diperlakukan tidak adil dengan kehadiran taksi online
Namun, kata dia, tidak bisa ditampik kondisi dunia seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang berdampak pada berbagai kemudahan dan kepuasan konsumen, termasuk akses layann transportasi.
"Problemnya, transportasi online 'kan lebih murah karena tidak dibebani dengan berbagai persyaratan seperti halnya pengusaha transportasi konvensional," kata politikus PDI Perjuangan itu.
Persoalan itu, kata dia, terangkum dalam "teleconference" mengenai revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
"Kemarin, saya ikut teleconference mengenai revisi Permehub menyoal keberafaan transportasi 'online' yang 1 April nanti diberlakukan. Beberapa hal sudah diatur secara perinci dalam permen," katanya.
Akan tetapi, kata dia, ada beberapa item yang diserahkankan kewenangannya pada masing-masing pemerintah daerah, di antaranya kuota yang diberlakukan mengenai keberadaan moda transportasi sesuai dengan kebutuhan.
"Makanya, kami akan lakukan survei untuk menetapkan kuota. Berapa kebutuhan taksi, misalnya 2.000 unit. Punya konvensional berapa? Nanti, kurangnya dilengkapi transportasi online," katanya.
Oleh karena itu, Hendi mengharapkan seluruh pihak duduk bersama, termasuk pengusaha transportasi konvensional dan "online", untuk membahas mengenai kuota armada transportasi yang dibutuhkan masyarakat.
"Dalam 1 hingga 2 hari ini, kami akan mendiskusikan mengenai kuota. Kami minta semu pihak bersabar karena aturan sudah ditetapkan. Transportasi 'online' tidak lagi dibiarkan secara bebas seperti sekarang," katanya.
Dengan demikian, kata dia, moda transportasi "online" yang masuk dalam kuota pun diberi tanda khusus sehingga jika ada yang moda "online" beroperasi tidak memakai tanda khusus berarti ilegal dan akan ditertibkan.
Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Jawa Tengah, menilai keberadaan transportasi "online" semestinya hanya bersifat melengkapi kekurangan moda transportasi konvensional.
"Transportasi 'online' itu mestinya hanya pelengkap ketika transportasi konvensional tidak bisa menjangkau masyarakat. Sebagai alternatif," kata Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi.
Diakui politikus PDI Perjuangan itu, maraknya transportasi "online" di Semarang memang membuat para pengusaha transportasi konvensional resah seperti taksi, angkutan kota, dan ojek pangkalan.
Menurut dia, keberadaan transportasi online membuat persaingan usaha layanan transportasi di Semarang kian ketat meski belum terlalu "booming" sebagaimana terjadi di Jakarta.
"Makanya, harus ditata secara baik. Jangan sampai sudah 'booming' seperti di Jakarta, komunitas-komunitas merebak, menimbulkan banyak persoalan baru dipikirkan karena tidak tertata sejak awal," katanya.
 Foto: REUTERS/Beawiharta |
Supriyadi mengatakan keberadaan transportasi "online" semestinya harus ditata dari awal dan dikoordinasikan dengan Pemerintah Kota Semarang agar tidak lagi terjadi gesekan dalam persaingan bisnis.
Selama ini, kata dia, keberadaan transportasi konvensional, seperti mobil penumpang umum (MPU) maupun ojek sudah cukup banyak untuk melayani masyarakat di banyak titik hingga jalur-jalur pinggiran.
"Kalau keberadaan transportasi 'online' dibiarkan secara bebas, tentunya akan meresahkan pengusaha transportasi konvensional. Makanya, harusnya dilakukan pembatasan sesuai kebutuhan," katanya.
Misalnya, ia mencontohkan kebutuhan moda transportasi umum di Kota Semarang ternyata 2.000 unit dari hasil pemetaaan, tentunya harus dibagi porsi adil antarmoda transportasi yang beroperasi.
"Dari 2.000 moda transportasi yang dibutuhkan itu, katakanlah 10 persennya diberikan untuk transportasi 'online'. Ya, memang tidak boleh banyak-banyak karena kan sifatnya hanya pelengkap," katanya.
Ia menegaskan pengaturan, termasuk pembatasan keberadaan moda transportasi "online" harus dilakukan untuk mencegah kesemrawutan dan potensi gesekan dengan pengusaha transportasi konvensional.
Di sisi lain, Supriyadi meminta Pemkot Semarang untuk terus membenahi pelayanan transportasi umum yang dikelolanya, seperti BRT Trans Semarang agar semakin nyaman dan diminati masyarakat.
(tyo/antara)