Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Uji Tipe Kendaraan Bermotor Indonesia Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Dewanto mengatakan alasan penerbitan payung hukum khusus
recall (penarikan kembali) lantaran ingin mempersempit peredaran kendaraan cacat yang diproduksi di Indonesia.
"Makanya itu juga menjadi pertimbangan kami mempercepat aturan itu. Jadi produsen bertanggung jawab, walau selama ini mereka (sudah) bertanggung jawab," kata Dewanto kepada
CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Ia pun mengakui bahwa saat ini banyak produsen yang memiliki masalah terhadap kendaraannya. Sehingga mereka harus 'menarik' masal produknya dari pasaran untuk dibetulkan bagian atau komponen yang rusak, tanpa ada pengawasan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang 2018 saja banyak dari produsen otomotif yang diketahui melakukan aktivitas
recall mulai dari Honda, Toyota, Mitsubishi hingga pabrikan kendaraan premium asal Jerman, yakni BMW.
"Ya banyak dari mereka, dari ganti
airbag lalu ini dan ini. Jadi (dengan peraturan) tugas Kemenhub sebagai pembina perusahaan atau merek makanya harus kami awasi," ujar dia.
Payung hukum untuk setiap kendaraan recall sendiri saat ini diketahui tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 33/2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor Pasal 79 ayat 3.
Peraturan itu pun dijelaskan oleh Dewanto merupakan revisi dari aturan sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 9 tahun 2014 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor. Peraturan baru berlaku efektif sejak April 2018.
"Jadi baik di PP (peraturan pemerintah) atau UU memang belum diatur. Makanya kami atur melalui peraturan menteri ini dan mungkin kalau dulu belum terfikir, ya lupa atau bagaimana," ucapnya.
Wajib Hentikan ProduksiLebih lanjut, ia menyampaikan bahwa produsen pun wajib menghentikan produksi dari kendaraan yang memang terindikasi recall. Terlebih masalah pada kendaraan tersebut menyangkut soal keselamatan.
"Nanti akan kami panggil (produsen) dan rapat soal masalah mobilnya. Lalu kami lihat seberapa parah nih, apa terkait
safety, atau kenyamanan. Kalau kenyamanan misal ada suara berisik ya tidak perlu mencabut SUT-nya atau uji ulang," kata dia.
"Tapi kalau safety nanti ada tim (independent dari Kemenhub) yang membuat produsen menguji ulang. Jadi (produsen) wajib ganti komponen rusak, lalu mereka uji tipe ulang dan hentikan produksi.
Nah jika memang sudah dinyatakan lulus baru boleh produksi lagi."
Sementara untuk sanksinya jika ada produsen yang tidak menaati aturan atau tidak melapor saat
recall, ia berujar pihaknya belum memutuskan secara rinci.
Peraturan detail terkait regulasi tersebut termasuk di dalamnya mengatur soal sanksi, akan dikeluarkan dalam tahap berikutnya.
"Rinciannya memang belum dibuat, tapi sudah berlaku mulai April 2018. Nah ini kami masih sosialisasi dulu ya," tutup Dewanto.
(agr/asa)