Jakarta, CNN Indonesia --
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009, Pasal 285 ayat 1 menggagalkan Gagah bergaya di atas sepeda motor modifikasi. Seiring gencarnya polisi merazia motor knalpot brong, Gagah kian sungkan mengeluarkan motornya dari garasi rumah.
Gagah harus berpikir dua kali sebelum berangkat ke kantor di wilayah Jakarta mengendarai sepeda motor kesayangan miliknya yang sudah dimodifikasi pada bagian knalpot. Ia khawatir jadi sasaran empuk polisi.
Terhitung sudah berhari-hari motornya tidak keluar "kandang" usai petugas polisi yang terus menindak pengendara motor berknalpot racing di jalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya habisnya kan kalau lihat di berita ada yang ditilang, ada yang knalpotnya dipotong denger-denger, terus suruh ganti saat itu juga," kata Gagah kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/4).
Alasan Gagah menggusur knalpot bawaan pabrik dengan produk aftermarket jelas untuk mendapat sensasi berkendara berbeda dari suara nyaring dari knalpot motornya.
Sebelum petugas polisi gencar melakukan razia motor knalpot brong, motor trail kesayangan miliknya yang sudah mengalami sentuhan modifikasi kerap digunakan untuk beraktivitas sehari-hari sampai urusan pekerjaan.
"Terus sekarang tiba-tiba ada tilang-tilang gini. Malah di Depok razia khusus knalpot sudah banyak lagi, bagaimana di Jakarta coba tempat saya kerja," ungkapnya.
Menurut Gagah ketimbang kena tilang dan ujungnya merepotkan di jalan, motornya kini lebih banyak di rumah. Sementara ia lebih memilih menjadi 'boncenger' atau memanfaatkan transportasi umum untuk pulang pergi kerja.
"Ya dari pada ditilang, mending nebeng dulu deh. Kebetulan ada teman yang tinggal searah. Kalau enggak, ya naik angkutan umum dulu," ucap Gagah.
Namun begitu Gagah tetap berharap ada kelonggaran dari aparat sehingga tidak langsung menindak pengendara motor meski gunakan knalpot modifikasi. Keinginan Gagah untuk mengendarai motornya hingga berkumpul sesama penghobi itu menjadi masalah karena terganjal undang-undang yang sudah lama digunakan polisi untuk menindak pelanggar.
Razia knalpot bising di Jakarta kembali gencar sejak pertengahan 2020. Data kepolisian periode Rabu-Minggu (10-14/3) 2021, sudah ada 200 pengendara yang terjerat karena menggunakan knalpot tak sesuai standar bawaan pabrik.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo pernah bilang aparat bekerja sama dengan Dinas Perhubungan (Dishub) dan menggunakan alat pengukur suara atau sound meter untuk penindakan.
Polisi menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009, Pasal 285 ayat 1 untuk menindak pemotor knalpot bising.
Pasal itu berbunyi, Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Sejumlah pihak menyebutkan undang-undang tersebut tidak tepat untuk menilang para pelanggar, apalagi polisi menggunakan alat decibel meter (dB meter) untuk mengukur suara yang dikeluarkan knalpot aftermarket. Padahal seharusnya tidak seperti itu. Sejumlah masyarakat menolak terkait kebijakan polisi selama ini.
Gayung bersambut, polisi akhirnya mengakui ada kesalahan dalam menindak pengendara sepeda motor karena metode pengukuran kebisingan knalpot di jalan raya menggunakan alat belum memiliki landasan hukum.
Namun polisi menegaskan, landasan hukum untuk menindak pemotor yaitu dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tepat.
Sebab UU itu mempresentasikan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N, dan Kategori L.
Pada lampiran aturan itu tertulis seberapa besar suara maksimal yang diizinkan. Pada motor di bawah 80 cc maksimal 77 dB, 80 - 175 cc maksimal 80 dB, dan di atas 175 cc maksimal 83 dB. Metode pengujian ini adalah ECE R-41-01.
Menurut polisi, cara selama ini menindak pengendara motor knalpot bising sudah bisa dilakukan, namun caranya tidak mengutamakan alat deteksi suara.
Karena aturan itu tepat digunakan pada saat kendaraan sedang diproduksi, seperti tertera pada judul aturan. Aturan ini biasa digunakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam menguji kelaikan kendaraan sebelum bisa diproduksi atau dijual di Indonesia.
Polisi tidak tepat menggunakan metode pengukuran suara motor di jalan yang jelas-jelas yang sudah di tangan konsumen.
"Makanya Polda Metro tidak berpatokan ke situ [penggunaan alat]," ucap Sambodo yang menegaskan setiap kendaraan yang tidak sesuai Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009, Pasal 285 harus ditindak.
Meski sempat menimbulkan tanda tanya lewat aturan yang dianggap belum jelas, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai langkah kepolisian menjerat pemotor yang menggunakan knalpot racing sudah tepat.
"Sebab bahasa di aturannya kan gitu, tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Itu udah cukup buat menjerat pelanggar," kata Agus.
Agus juga mengapresiasi langkah kepolisian yang hendak membersihkan Jakarta dari polusi suara akibat knalpot racing. Agus mengungkapkan sudah terlalu lama aparat melakukan pembiaran dengan pengguna knalpot itu.
"Kalau dulu itu kan pembiaran, kalau sekarang sudah benar. Aturannya juga sudah ada. Tidak sesuai standar ya tilang," tutup Agus.