Pertamina berencana meluncurkan bahan bakar jenis bioetanol bulan ini. Bioetanol merupakan bahan bakar baru dari sumber energi terbarukan, yakni campuran antara Pertamax dengan nabati etanol.
Etanol yang akan digunakan nanti berasal dari molase atau tebu tetes terbaru. Pertamina mengklaim transisi energi ini bukan sekadar ambisi untuk menurunkan karbon emisi, tapi lebih penting mewujudkan kemandirian energi.
Sama seperti biodiesel, bioetanol juga menjadi bahan bakar alternatif yang dicampur dengan energi yang bersumber dari nabati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua bahan bakar alternatif ini memang jadi perhatian pemerintah. Sebelum bioetanol, pemerintah sudah lebih dulu menerapkan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) Biodiesel 35 persen mulai Februari lalu.
Lalu apa perbedaan dari bioetanol dan biodiesel? Berikut ulasannya:
Bioetanol merupakan salah satu bentuk energi terbarukan yang dapat diproduksi dari tumbuhan. Etanol dapat dibuat dari tanaman-tanaman yang umum, misalnya tebu, kentang, singkong, maupun jagung.
Pada dasarnya bioetanol adalah etanol atau senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi bisa memiliki berbagai macam kadar, mengutip laman resmi UGM.
Bioetanol dengan kadar 90-94 persen disebut bioetanol tingkat industri. Apabila bioetanol yang diperoleh berkadar 94-99,5 persen maka disebut bioetanol tingkat netral yang secara umum dipakai untuk campuran minuman keras.
Terakhir ada bioetanol tingkat bahan bakar. Kadar bioetanol tingkat ini sangat tinggi, minimal 99,5 persen.
Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas CO secara signifikan. Bioetanol bisa dipakai langsung sebagai BBM atau dicampurkan ke dalam premium sebagai aditif dengan perbandingan tertentu (Gasohol atau Gasolin alcohol), jika dicampurkan ke bensin maka bioetanol bisa meningkatkan angka oktan secara signifikan.
Lalu, campuran 10 persen bioetanol ke dalam bensin akan menaikkan angka oktan premium menjadi setara dengan Pertamax (angka oktan 91).
Biaya produksi bioetanol juga relatif lebih rendah, karena dapat dibuat oleh siapa saja termasuk UMKM dan industri rumah tangga. Teknologi pembuatan bioetanol juga tergolong low technology sehingga masyarakat awam dengan pendidikan terbatas dapat membuat bioetanol secara mandiri.
Sebelum Indonesia, sudah banyak negara di dunia yang memakai bahan bakar jenis ini. Sebagai contoh China yang sudah merilis kebijakan untuk mewajibkan penggunaan etanol di seluruh wilayah pemerintahannya pada Januari 2020, namun ada kendala akibat penolakan dari pengusaha lokal, ongkos produksi etanol yang tinggi, dan terbatasnya bahan baku.
Berbeda dengan China, Amerika Serikat (AS) dan Brazil merupakan negara yang sukses menerapkan etanol sebagai komponen wajib dalam campuran bahan bakar kendaraan. Keduanya juga merupakan negara dengan tingkat produksi etanol tertinggi di dunia.
Sama seperti bioetanol, biodiesel juga merupakan bahan bakar nabati (BBN), yakni salah satu energi yang dihasilkan dari bahan baku bioenergi melalui proses atau teknologi tertentu.
Namun, bedanya Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi.
Di Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO). Selain dari CPO, tanaman lain yang berpotensi untuk jadi bahan baku biodiesel di antaranya tanaman jarak, jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina, nyamplung, dan lainnya.
Mengutip laman EBTKE ESDM, proses pembuatan biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol.
Lihat Juga : |
Sejak 2008, pemerintah menerapkan biodiesel sebagai program mandatori. Pada mulanya, campuran biodiesel sebesar 2,5 persen.
Kemudian secara bertahap kadar biodiesel ditingkatkan hingga 7,5 persen selama rentang waktu 2008 sampai 2010. Kemudian sejak April 2015 persentase biodiesel kembali ditingkatkan dari 10 persen menjadi 15 persen.
Lalu, pada 1 Januari 2016 ditingkatkan kembali menjadi 20 persen dan disebut B20. Berikutnya pada 2020 pemerintah mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen solar yang menghasilkan B30.
Mulai Februari 2023, pemerintah menerapkan pemakaian B35 atau campuran 35 persen biodiesel dan 65 persen lainnya merupakan BBM jenis solar. Ke depan, pemerintah juga berencana menggunakan B100 atau 100 persen biodiesel tanpa campuran bahan bakar solar.
(dmr/dmr)