Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil siap menggugat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sebagai masyarakat sipil yang banyak bekerja di demokrasi dan pemilu, kami merasa tercederai secara kontitusi karena undang-undang tersebut," ucap Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraeni ketika dihubungi CNN Indonesia, Ahad (28/9).
Dia dan sejumlah lembaga lainnya seperti Yayasan Lembaga Hukum (YLBH), Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yappika, dan Indonesia Parliamentary Center (IPC) tengah melakukan pengkajian undang-undang tersebut.
"Permohonannya sedang disusun," katanya. Titi menerangkan, timnya akan mengajukan gugatan setelah peraturan tersebut diundangkan dan bernomor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan menggugat mekanisme pemilihan soal bagaimana kepala daerah dipilih karena itu menentukan dampak terhadap aturan pelaksanannya," tegas Titi. Menurut Titi, pemilihan kepala daerah melalui Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
"Kami sedang membahas pasal-pasal yang digunakan (untuk uji materi). Tapi yang pasti soal hak dipilih dan memilih," ungkapnya.
Merujuk pada pasal 18 I ayat 4 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Selain itu, pasal 28 UUD 1945 menjamin hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.
Pada Jumat (26/9) dini hari, parlemen di Senayan mengesahkan UU Pilkada yang menetapkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Praktis, rakyat tidak lagi dapat memilih kepala daerahnya sendiri secara langsung. Penetapan tersebut berdasar hasil voting yang dilakukan oleh seluruh fraksi kecuali Fraksi Demokrat yang memilih walk out. Ada enam anggota Fraksi Demokrat yang tak ikut walkout.