Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Golkar terbelah. Mereka yang masih setia pada sang Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) berkukuh menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IX di Bali pada 30 November 2014.
Sedangkan mereka yang berkiblat pada Tim Penyelamatan Partai yang dikomandoi Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono masih memperjuangkan agar Munas digelar pada Januari 2014. Hal ini sesuai dengan amanah Munas VIII di Pekanbaru pada 2009 dan berdasarkan Rapat Pleno awal November.
Kedua kubu merasa benar dalam menerjemahkan konstitusi partai. Keduanya juga saling klaim memegang dominasi kekuatan di tubuh partai berlambang pohon beringin itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di belakang Ical masih berdiri beberapa pengurus sekaligus tokoh senior Golkar. Sebut saja Fadel Muhammad, Idrus Marham, Theo L Sambuaga, hingga tokoh senior Akbar Tandjung.
Adapun mereka yang "bersama" Agung pun bukan nama-nama sembarangan. Kebanyakan mereka adalah kader-kader muda. Sebut saja Priyo Budi Santoso, Lawrence Siburian, Hajriyanto Thohari, Zainuddin Amali, Agus Gumiwang Kartasasmita. Ada pula nama Yorrys Raweyai, Agun Gunandjar dan Ibnu Munzir. Bahkan pendiri Golkar yang masih hidup, Suhardiman jelas-jelas mendukung Agung.
Kubu Ical mengklaim, mereka didukung oleh mayoritas DPD selaku pemilik suara dalam Munas. Perubahan jadwal Munas dari semula Januari 2015 menjadi 30 November 2014, menurut mereka adalah hasil kesepakatan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-7 di Yogyakarta baru-baru ini.
Rapimnas tersebut dihadiri oleh DPD, organisasi sayap, dan ormas pendukung yang menyetujui adanya perubahan jadwal Munas.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham mengatakan, seluruh DPD tingkat I meminta Ical untuk kembali memimpin Golkar. Hal inilah yang melatarbelakangi Ical ingin kembali jadi orang nomor satu di Golkar untuk periode kedua.
Jika kubu Ical mengklaim dukungan DPD tingkat I, kubu Agung justru mengklaim dukungan dari DPD tingkat II.
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Leo Nababan mengatakan, suara DPD II akan berpihak pada Agung Laksono. Leo mengatakan selama lima tahun terakhirnya pengurus DPD II Golkar tidak diperhatikan sehingga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Ical.
Jika jumlah DPD I hanya 34 suara, maka jumlah DPD II menurut Leo ada 508 suara. Suara mayoritas inilah yang diklaim kubu Agung akan berpihak ke mereka.
Suara lain juga berasal dari tiga organisasi pendiri yakni MKGR, SOKSI dan Kosgoro 1957. Ada pula suara dari ormas sayap Golkar.
Untuk tiga organisasi pendiri, tiga tokohnya telah berada di belakang Agung. Priyo adalah Ketua Umum Soksi, Agung Laksono sendiri Ketua Umum Kosgoro dan Lawrence Siburian adalah ketua Presidium SOKSI.
Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Ari Dwipayana mengatakan, konflik yang terjadi dalam memperebutkan ketua umum partai adalah hal biasa.
Namun di Golkar, menurut Ari konflik diperuncing karena Ical sebagai pengendali partai seakan tak memberi ruang untuk ada persaingan dalam memperebutkan jabatan.
Ical, menurut Ari, masih ngotot untuk menjadi orang nomor satu di Golkar karena yang diperebutkan bukan cuma posisi saja, namun juga kekuatan ekonomi politik.
Jika Ical kehilangan jabatan Ketua Umum Golkar, maka sama saja ia tidak menggunakan Golkar untuk mendapatkan akses ekonomi politik.
Yang terjadi saat ini, menurut Ari adalah ada perebutan pengaruh untuk menjaring dukungan. Ical memang mendapat dukungan banyak elite partai. "Tapi sekarang apakah Ical bisa mengontrol sampai kabupaten," kata Ari kepada CNN Indonesia.
Dukungan elite di pusat tidak berpengaruh saat dukungan elite di daerah tidak dapat diraih. Pasalnya pemilik suara saat munas adalah elite di daerah.
Masih mengambangnya suara di daerah, tutur Ari, bisa dimanfaatkan untuk mereka yang kontra pada Ical. Syaratnya harus benar-benar ada penantang Ical yang punya pengaruh untuk memobilisasi dukungan dan kekuatan finansial cukup.
Selain itu, penantang Ical butuh waktu yang lebih panjang untuk mengumpulkan dukungan dari daerah. Karena itu mereka yang melawan Ical berharap munas diselenggarakan pada Januari 2014.
Perpecahan di tubuh Golkar diragukan Ari bakal menimbulkan partai sempalan baru semacam Hanura, Gerindra ataupun NasDem.
"Tidak ada sosok yang punya populer dan punya basis finasial yang kuat," ujar Ari.
Ia memperkirakan hanya akan ada DPP tandingan yang berebut legitimasi dari Kementerian Hukum dan HAM seperti yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).