Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Drajad Wibowo menyebut surat edaran kebal hukum yang dibuat untuk mengatasi rendahnya penyerapan anggaran daerah bisa berdampak negatif. "Takutnya kepala daerah jadi nakal. Jangan lupa yang nakal itu juga banyak kepala daerah," kata Drajad di Jakarta, kemarin.
Solusinya, kata Drajad, adalah membuat payung hukum yang tidak memberikan kekebalan penuh bagi pemerintah daerah.
(Lihat Juga: FOKUS Kebut Belanja APBN Tanpa Bocor)
Dia mengatakan, keadaan saat ini saja sudah bisa digunakan sebagai perkiraan dampak surat edaran itu di masa yang akan datang. "Tanpa jaminan (hukum) saja sudah banyak kepala daerah yang jadi pasien KPK," kata dia.
(Baca Juga: Penyerapan Anggaran Dipaksakan, Kualitas Belanja Diragukan)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Pakar hukum Mohammad Mahfud M.D. menilai publik tidak perlu memperdebatkan wacana penerbitan surat edaran soal kebijakan kebal hukum dari pemerintah. Sebab dia berpendapat sebuah kebijakan pada dasarnya memang tidak bisa dipidanakan.
"Karena memang salah satu tugas pemerintah itu agar ada kebijakan. Masalahnya kalau kebijakan itu konduktif, itu sudah lain lagi," ujar Mahfud di Gedung DPR, Kamis (27/8).
Bagaimanapun, kata Mahfud, sebuah kebijakan tidak bisa menjadi sasaran kriminalisasi. Pemerintah membutuhkan kebijakan karena tanpa hal itu negara tidak bisa jalan.
Wacana ini berasal dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menyebut ketakutan pemerintah daerah dalam administrasi dan teknis penggunaan anggaran menjadi penyebab rendahnya penyerapan anggaran.
Yasonna menyebutkan diperlukannya standar operasional prosedur (SOP) untuk menghindari dipidanakannya pemerintah daerah berkaitan dengan penggunaan anggaran, sebelum ada audit dan temuan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menghendaki agar penegak hukum tidak memidanakan sebuah kebijakan yang diambil oleh kepala daerah. Kalaupun ada persoalan administratif, katanya, bisa diselesaikan melalui jalur perdata sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
(utd)