Demokrat Minta Jokowi Transparan Soal Pergantian Buwas

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 07 Sep 2015 06:50 WIB
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengatakan ciri pemerintahan yang baik adalah transparan dan akuntabel.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Syarief Hasan saat konferensi pers di Gedung DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin, 29 September 2014. (CNN/Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Demokrat meminta Presiden Joko Widodo dan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti untuk menjelaskan beragam alasan dan latar belakang pergantian Kepala Badan Reserse Kriminal Polri kepada masyarakat.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Syarief Hasan, menyebut penjelasan tersebut akan menjadi bagian dari akuntabilitas dan transparansi pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan.

"Ciri pemerintahan yang baik adalah transparan dan akuntabel. Pengambilan keputusan juga harus sesuai dengan aturan dan sistem yang berlaku," ujar Syarief di Jakarta, Ahad (6/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syarief mengatakan, penjelasan Presiden dan Kapolri itu mendesak karena menurut Demokrat, rotasi pada level Kabareskrim dan Kepala Badan Narkotika Nasional ini bukanlah mutasi biasa.

"Mengingat Polri merupakan institusi penting, rakyat perlu mendapatkan penjelasan yang benar dan jujur, apa sesungguhnya yang ada di balik pergantian itu," tuturnya.

Seperti diketahui, pada Kamis (3/9) lalu, Kapolri mengeluarkan Surat Keputusan bernomor KEP/763/IX/2015. Melalui surat itu, Kapolri menyatakan telah merotasi Kabareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso menjadi Kepala BNN. Sebaliknya, Komisaris Jenderal Anang Iskandar dialihtugaskan dari Kepala BNN menjadi Kabareskrim.

Syarief lantas membandingkan pergantian Kabareskrim di era Presiden Jokowi dan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia berkata, penggantian pejabat tinggi di lingkungan Polri dan TNI pada era SBY dilakukan berdasarkan pertimbangan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi serta usulan Kapolri maupun Panglima TNI.

"Semua dari bawah. Untuk Polri, setelah ada usulan dari Wanjakti dan Kompolnas, ada satu dua tiga nama yang kemudian dibahas Presiden. Lalu presiden bertanya pada Kapolri, setelah itu diputuskan," ungkapnya.

Dengan melaksanakan sistem mutasi yang sesuai dengan peraturan, Syarief pun menganggap pergantian pejabat tinggi Polri dan TNI tidak pernah menuai gejolak.

Menurut catatan CNN Indonesia, setidaknya terdapat dua pergantian jabatan petinggi Polri dan TNI di era SBY yang menimbulkan kontroversi.

Pertama adalah pencopotan Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji pada tahun 2009. Susno dimutasi berdasarkan Surat Keputusan nomor 618/IX tanggal 24 November 2009.

Disebut terlibat dalam rekayasa kasus pidana yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Chandra dan Chandra Hamzah, Susno belakangan divonis bersalah pada kasus penanganan perkara PT. Salmah Arowana Lestari dan kasus dana pengamanan Pemilukada Jawa Barat 2008.

Mendapatkan vonis pidana penjara selama 3,5 tahun, Susno melarikan diri sehingga Kejaksaan Agung tidak dapat segera mengeksekusi putusan. Presiden SBY tahun 2013 silam secara resmi memerintahkan Kejagung untuk segera menjalankan putusan hakim.

April 2010, Budi Waseso yang kala itu menjabat Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri memimpin operasi penangkapan Susno yang hendak terbang ke Singapura dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Kontroversi kedua adalah keputusan SBY untuk mengangkat adik iparnya, Pramono Edhie Wibowo, menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, Juni 2011.

Banyak kalangan menilai, Pramono yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD tidak lebih berprestasi dibandingkan dua kandidat lainnya, yakni Budiman (belakangan menjadi KSAD ke-29) dan Marciano Norman (tahun 2011 ditunjuk SBY menjadi Kepala Badan Intelijen Negara). (gir/gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER