Jakarta, CNN Indonesia -- Draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak dibaca oleh semua pengusul revisi. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Irmawan, salah satu dari 45 anggota pengusul, mengaku hanya membubuhkan tanda tangan keikutsertaan sebagai pengusul revisi tanpa membaca draf yang diusulkan.
Penandatanganan itu dilakukan jelang Sidang Paripurna, Senin (5/10). Irmawan mengira usul itu diajukan sebatas pada tataran konsep usulan, sehingga dia hanya turut melibatkan diri dengan memposisikan persetujuan pada konteks inisiasi.
"Saya waktu itu diminta ke ruang Fraksi PDI Perjuangan, kemudian berkas itu ditandatangani. Draf tidak sempat saya baca," ujar Irmawan saat dikonfirmasi Jumat (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, Irmawan sama sekali tidak mengetahui substansi perubahan pasal, terutama dengan Pasal 5 yang berisi keterangan tentang pembatasan masa kerja KPK selama 12 tahun. Draf yang sempat beredar di Badan Legislasi DPR.
Hal serupa dialami Anggota Fraksi Golkar Mukhamad Misbahun. Anggota Komisi XI DPR itu menegaskan, saat dia membubuhkan tanda tangan sama sekali tidak melibatkan pembahasan yang menyinggung soal draf usulan revisi UU KPK.
Menurut Misbakhun, rapat Baleg yang dilakukan Selasa sore (6/10) sebatas membicarakan perihal pengambilalihan insiatif revisi dari pemerintah ke DPR. Dia mengaku heran dengan masyarakat yang sudah ramai membicarakan rancangan RUU KPK.
"Saya heran orang-orang membicarakan draf yang DPR sendiri tidak membicarakannya. DPR tak pernah membahas itu," kata Misbakhun.
Anggota Fraksi NasDem Taufiqulhadi mengakui pengalaman yang sama. Dia menandatangani usulan inisiatif revisi UU KPK tanpa tahu ada draf usulan yang belakangan beredar di kalangan media.
"Tidak pernah ada pembahasan soal draf itu. Yang ada kertas usulan itu beredar begitu saja saat paripurna kemarin (Senin, 5/6)," kata Taufiq.
Irmawan, Misbakhun, dan Taufiq pada dasarnya mengamini UU KPK memang perlu mendapat perbaikan. Dengan catatan, perbaikan itu dilakukan semata untuk memperkuat sistem kerja pemberantasan korupsi yang selama ini diterapkan di KPK.
Dalam arti lain, wacana pembatasan masa kerja KPK belum diketahui semua anggota dewan yang menandatangani inisiatif usulan revisi, terkecuali mereka yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan menyatakan, draf usul itu telah disepakati bersama oleh para pengusul yang ikut menandatangani inisiatif revisi. Pembatasan masa kerja KPK dinilai perlu untuk menegaskan kembali fungsi KPK sebagai lembaga ad hoc.
"Katakanlah sekarang KPK sudah berdiri 13 tahun, kami tambah 12 tahun. Jadi kami rasa 25 tahun sudah cukup untuk KPK eksis," kata Arteria.
Kolega satu partai Arteria, Masinton Pasaribu dengan lugas membeberkan alasan di balik sejumlah usul perubahan pasal dalam UU KPK.
Menurut Masinton, draf versi DPR merupakan 'pendalaman' dan 'penyesuaian' dari draf milik pemerintah. Penyesuaian itu berlaku pada pasal-pasal yang memuat pembatasan masa kerja KPK dan pemangkasan kewenangan komisi anti rasuah seperti penyadapan serta penanganan jumlah kerugian negara yang bisa ditangani sebatas Rp 50 miliar ke atas.
"Tidak jauh berbeda dengan draf yang lama. Sebelumnya juga begitu," kata Masinton.
(rdk)