Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berharap pemerintah mau melakukan evaluasi dan pengkajian mendalam guna mempertimbangkan niatan untuk merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Anti-terorisme) Nomor 15 Tahun 2003.
Menurut Mahfudz, niatan untuk evaluasi terhadap penanggulangan terorisme yang dilakukan aparat penegak hukum selama ini dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelaksanaan undang-undang di lapangan.
"Jadi jangan sampai undang-undang belum dilaksanakan dengan baik, lalu bicara ada kelemahan undang-undang. Harus ada evaluasi," kata Mahfudz di Gedung DPR, Rabu (20/1).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan, mekanisme pembentukan UU selama ini dilakukan bersama melibatkan pemerintah dan DPR. Dalam pelaksanaanya, terkait niatan revisi UU antiterorisme, ada dua jalur yang bisa ditempuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kata Mahfudz, pemerintah bisa mengajukan usul inisiatif jika hendak melakukan revisi, sepanjang UU yang hendak direvisi tersebut masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Jika UU terkait belum masuk dalam prolegnas, maka pemerintah dan DPR mesti sepakat memasukkan UU tersebut dalam perubahan prolegnas.
Kedua, kata Mahfudz, jika Presiden Joko Widodo memandang ada situasi kepentingan nasional yang mendesak, maka presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang bisa langsung diberlakukan. Dengan catatan, pada masa sidang parlemen terdekat presiden harus menghadirkan Perppu tersebut untuk disahkan menjadi UU.
"Tapi kan tidak semua hal bisa didalilkan sebagai hal yang mendesak. Saya konsisten agar pemerintah melakukan kajian mendalam," ujar Mahfudz.
Kalaupun pemerintah telah melakukan evaluasi dan mendapati adanya kelemahan dalam implementasi di lapangan, Mahfudz menilai yang mesti diperbaiki adalah implementasinya itu sendiri. Apabila implementasi sudah maksimal namun kewenangan aparat terbatasi aturan, maka niatan untuk merevisi dianggap layak dipertimbangkan.
Aparat penegak hukum seperti Badan Inteligen Negara dan Kepolisian RI saat ini mengeluhkan keterbatasan wewenang dalam menindak dan mencegah tindak terorisme. Aturan dalam UU antiterorisme dianggap membatasi aparat untuk bisa lebih dini mencegah aksi teror di lapangan.
Mahfudz menyatakan, dalam UU antoterorisme saat ini sudah ada pasal hang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia di luar negeri bisa dijerat pidana jika kedapatan memberikan bantuan atau pendanaan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana terorisme.
Dengan kata lain, kata Mahfudz, aparat penegak hukum punya kewenangan untuk menjerat hukum WNI yang kedapatan bergabung angkat senjata bersama ISIS. Sehingga jika saat ini masih ada aparat di lapangan yang mengeluhkan tidak bisa menjerat mereka yang kedapatan bergabung dengan ISIS perlu ditanyakan kembali, apakah kendala itu muncul karena UU yang mengatur atau karena implementasi di lapangan.
"Memang paling gampang berpikir tambah kewenangannya. Tapi apakah itu menyelesaikan masalah di lapangan?" Ujar Mahfudz.
Anggota Komisi Hukum Nasir Djamil berharap pemerintah bersikap tidak reaktif dalam merespon aksi Bom Thamrin dengan cara mengeluarkan Perppu. Nasir lebih memilih untuk membahasnya bersama DPR melalui jalur revisi.
Legislator dari daerah pemilihan Aceh itu menyatakan inisiatif revisi UU Anti-terorisme sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2011. Sehingga, Nasir menilai kondisinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini.
"Lambatnya perjalanan revisi UU Anti-terorisme ini tidak berbanding lurus dengan meluasnya aksi dan jaringan terorisme yang terjadi. Sehingga, draf RUU Anti-terorisme perlu disesuaikan dengan perkembangan yang ada," ujar Nasir.
Oleh karena itu, Nasir berharap Pemerintah segera mengajukan rancangan draf revisi UU Anti-terorisme agar dapat masuk prioritas Prolegnas 2016. Dia menaksir jika revisi UU Antiterorisme masuk daftar prioritas 2016, DPR dan pemerintah bisa berkomitmen untuk menyegerakan pembahasan paling tidak selama 3-6 ke depan.
(bag)