Jakarta, CNN Indonesia -- Pro kontra di antara anggota dewan terjadi menyikapi wacana Partai Golkar menjadikan Presiden kedua Indonesia Soeharto sebagai pahlawan nasional. Hal itu menjadi salah satu rekomendasi Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Bali, 14-17 Mei.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tubagus Hasanuddin mengatakan, pemberian status pahlawan nasional kepada Soeharto harus melalui prosedur berlaku, melihat kajian bidang urusan tanda jasa dan tanda pahlawan dari tokoh masyarakat.
Mayor Jenderal Purnawirawan TNI itu enggan berpendapat layak atau tidaknya Soeharto dijadikan pahlawan nasional. "Saya menyarankan selama pemilihan ada pro kontra, sebaiknya djtunda sampai saatnya tiba," kata Tb. Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana ini selalu mencuat menjelang Hari Pahlawan 10 November, seperti tahun lalu. Saat itu, Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menyebut pemberian gelar pahlawan bagi mantan Presiden Soeharto menunggu waktu yang tepat.
Salah satu pertimbangan belum diberikannya gelar pahlawan nasional kepada salah satu pendiri Partai Golkar ini adalah Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 menyebutkan, Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
Menanggapi itu, Politikus Partai Demokrat Dede Yusuf berpendapat, Soeharto memimpin Indonesia puluhan tahun dan membentuk infrastruktur, membangun perekonomian, dan membagikan subsidi bagi Indonesia.
Sekitar 1969, Soeharto mampu membawa Indonesia mencapai laju pertumbuhan produk domestik bruto rata-rata 7,6 persen per tahun.
"Pro kontra pasti ada, tapi pertanyaannya apakah rakyat merasakan pembangunan yang dilakukan Pak Harto? Kalau memang dirasakan, saya rasa tidak masalah," kata Dede.
Senada, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendukung direalisasikannya wacana itu terutama atas upaya Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu Soeharto menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III.
"Waktu itu Indonesia dinyatakan tidak ada lagi karena agresivitas militer Belanda, ada peran Soeharto di situ," ujar Fadli.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah gerakan menunjukkan eksistensi Indonesia dan TNI kepada dunia internasional. Gerakan ini bertujuan memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan Dewan Keamanan PBB dan mematahkan moral pasukan Belanda.
Serangan di Yogyakarta, saat itu menjadi Ibu Kota Indonesia, dilakukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, setelah mendapat persetujuan Sultan Hamengkubuwono IX.
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seseorang berhak mendapatkan gelar pahlawan nasional yaitu, WNI atau seseorang yang berjuang di Indonesia, berintegritas, dan berjasa terhadap bangsa.
Selain itu, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
(pit)