Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Suatu saat sekitar 2008, saya melakukan sebuah peliputan jurnalistik untuk sebuah media Inggris ke beberapa negara bersama beberapa rekan, salah satunya asal India. Ia memegang dua paspor: Inggris dan India.
Tentu saja ia memilikinya dengan diam-diam. Inggris memperbolehkan kepemilikan paspor ganda. Tak masalah. Tetapi tidak dengan India.
“Paspor Inggris hanyalah untuk memudahkan saya bepergian. Dokumen perjalanan,” katanya ketika saya tanya soal paspor itu. “Kamu merasakan sendiri kan susahnya memegang paspor Indonesia.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia benar. Bepergian menggunakan paspor Indonesia, apalagi nama lengkap saya ada Muhammadnya, terutama setelah peristiwa 11 September 2001, memang merepotkan. Sudah menjadi rahasia umum kalau Indonesia agak-agak menjadi negara paria. Sudah ke mana-mana harus mengurus visa, dan susah mendapatkannya, pun ketika masuk negara yang dituju harus diperiksa hingga berulang-ulang.
Cap permanen residen Inggris di paspor Indonesia saya, setara
green card Amerika, tidak cukup membantu. Bahkan menjadi persoalan sendiri karena berulang kali menjadi kecurigaan bagaimana saya memperolehnya.
Tetapi bagaimana dengan persoalan nasionalisme?
“Saya tetap orang India. Kesetiaan saya tetap pada India. Paspor ini tidak mengubah apapun. Administratif saja,” katanya berkilah.
Ada nilai benar dari semua pernyataannya. Tetapi saya kira ia terlalu menyederhanakan persoalan.
Saya tahu persis, memperoleh paspor Inggris, semestinya begitu juga dengan paspor-paspor negara lain ketika anda bukan penduduk “asli”, anda harus pertama-tama menjadi warga negara lewat naturalisasi. Dan menjadi warga negara lewat naturalisasi, anda harus terlebih dahulu membuktikan diri layak –mengikuti ujian kewarganegaraan– dan kalau lulus harus menjalani sebuah proses/upacara “politik” dengan di antaranya pengambilan sumpah kesetiaan.
Dalam kasus Inggris, sumpah setia kepada Sri Ratu/Raja.
Membuktikan layak artinya anda harus bisa menyesuaikan diri, setuju, dan mendukung nilai-nilai kehidupan, cara berpikir kolektif, dan ideologi negara yang bersangkutan. Menjadi bagian dari apa yang dirumuskan oleh ilmuwan politik Ben Anderson sebagai komunitas yang terbayangkan. Bersumpah setia adalah tindak selanjutnya bahwa anda menyediakan diri untuk berkorban dan memperjuangkan kepentingan komunitas (negara) itu ketika diperlukan.
Karenanya kalau mau konsekuen dengan proses naturalisasi yang dijalani, berdamai untuk memiliki dua paspor-dua kewarganegaraan adalah persoalan pelik. Kesetiaan yang mendua dari sudut sosio-psiko-antropologis –seperti yang kita kenal dalam teori lintas afiliasi
(cross cutting affiliation)– terutama di masyarakat yang majemuk termungkinkan tetapi selalu merepotkan.
Walau pribadi sifatnya, anda harus bisa terus-menerus bergerak antara identitas masyarakat asal dan masyarakat yang baru.
Dari sudut politik, persoalannya sulit untuk direkonsiliasikan. Karena dalam politik, kesetiaan yang mendua adalah oksimoron. Kemustahilan. Tidak ada dua entitas politik yang mempunyai tujuan sama. Kalaupun ada, maka akan terbatasi oleh kesementaraan dan kepentingan. Anda harus menjatuhkan pilihan ke salah satu tidak bisa ke salah dua. Dan terbuka –diketahui oleh publik– sifatnya.
Teman India saya beruntung. Ia hanya harus berdamai dengan dirinya sendiri untuk hidup dalam dua tata nilai yang berbeda. Bergerak dari ke-India-an dan ke-Inggris-annya atau sebaliknya. Ia bukan pejabat publik/negara, atau tidak berada dalam situasi khusus seperti perang misalnya, yang harus memanifeskan pilihan politiknya.
Berbeda kasus dengan yang menimpa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang baru diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo. Ia tak bisa berkelit. Ia pejabat publik.
Bahkan sebelum mengambil kebijakan apapaun terkait posisinya, ia sudah harus menunjukkan pilihannya. Dan belum-belum sudah melanggar UU kesetiaan tunggal Indonesia yang menolak kewarganegaraan ganda.
Sebenarnya kalau pemerintah Indonesia dengan terbuka dan jujur mengakui kebenaran kepemilikan paspor itu, maka persoalan akan relatif lebih mudah selesai. Bahwa akan ada konsekuensi administratif, proses politik, mungkin sanksi, dan lain-lain untuk menyelesaikan, itu pasti. Tetapi bukankah aturan, peraturan, dan undang-undang tersedia untuk itu?
Ketidakterbukaan dan ketidakjujuran malah menimbulkan banyak pertanyaan. Dari apakah pemerintah kecolongan, inkompetensi para pejabat terkait, hingga kemungkinan bolong-bolong proses rekrutmen di tingkat tertinggi pemerintahan. Lebih parah lagi malah menjadi bahan bakar teori konspirasi liar mengenai tarik-menarik kepentingan politik antarkelompok yang sulit diverifikasi tetapi pasti mencoreng kewibawaan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kasus Arcandra Tahar juga membuka persoalan yang serius yang mungkin harus diakui oleh bangsa (dan pemerintah) Indonesia: kompleks inferior. Ada keraguan bahwa mereka yang berwarga negara ganda ketika harus mengambil keputusan politik akan menguntungkan negara yang mereka adopsi dan bukan Indonesia.
Coba simak bagaimana salah satu komentar yang paling banyak terkait Arcandra Tahar –walau sebenarnya bisa untuk semua bidang dan kementerian– adalah bagaimana kalau yang bersangkutan harus mengambil keputusan yang berhadap-hadapan dengan kepentingan Amerika? Akankah kemudian menguntungkan Amerika dan bukan Indonesia?
Juga kekhawatiran bahwa yang bersangkutan akan tahu rahasia-rahasia negara dan membocorkannya. Bertindak lebih sebagai pion Amerika dan bukan sebagai pejabat Indonesia.
Mengapa begitu inferior? Seolah-olah tidak ada yang ditawarkan Indonesia yang membuat yang bersangkutan akan lebih mengedepankan kepentingan Indonesia. Seolah-olah Indonesia tak punya posisi runding sama sekali bahkan untuk warganya sendiri.
Mengapa cara berpikirnya tidak dibalik: bahwa Indonesia mempunyai seorang pejabat yang mengerti seluk-beluk bisnis dan mempunyai akses ke dunia ESDM Amerika. Bahwa pejabat yang bersangkutan mempunyai informasi-informasi rahasia dari Amerika sehingga kemudian menguntungkan bangsa Indonesia. Bahwa Indonesia menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan Amerika.
Saya sering bercuriga, jangan-jangan keputusan Indonesia untuk menganut hukum kewarganegaraan tunggal, dan terus melestarikannya, sedikit banyak didasarkan pada rasa inferior ini. Sebuah pengakuan bahwa pemerintah memang belum bisa banyak menawarkan apapun bagi warganya sehingga khawatir warganya akan lari pada kesempatan pertama. “Berkhianat” begitu kesempatan itu ada.