Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara dan mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan kasus seperti Arcandra Tahar tak pernah terjadi sebelumnya. Semalam, Arcandra diberhentikan Presiden Jokowi dari jabatannya sebagai Menteri ESDM menyusul kencangnya isu kewarganegaraan ganda yang ia miliki.
Syarat pengangkatan menteri diatur secara tertulis dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal itu berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi; d. sehat jasmani dan rohani; e. Memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan f. tidak pernah dipidana penjara...”
“Saya ikut menyusun UU Kementerian Negara, dan UU itu mengatur jelas syarat-syarat pengangkatan menteri. Syarat pertama: WNI. Presiden harus membuka UU itu,” kata Yusril kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arcandra dikabarkan memilliki dua paspor, Indonesia dan Amerika Serikat. Arcandra menjadi waga negara AS sejak Maret 2012. Ia disebut mengikuti proses naturalisasi di negara itu. Persoalannya, Indonesia berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau bipatride.
“Hal ini tidak pernah terjadi pada masa Presiden Soeharto, Habibie, SBY. Pada zaman Gus Dur, ada salah penempatan orang, tapi bukan masalah kewarganegaraan, tak serius. Kali ini serius,” kata Yusril.
Mestinya saat Presiden mengangkat menteri, ujar Yusril, dia melakukan pengecekan ketat terkait syarat nomor satu di UU Kementerian Negara, bahwa menteri harus warga negara Indonesia. Begitu pula dengan syarat-syarat lainnya.
“Cek dulu ke Menteri Hukum dan HAM serta Kementerian Luar Negeri tentang kewarganegaraan calon menteri. Cek ke Badan Intelijen Negara tentang apa kegiatan orang itu selama ini. Cek juga ke aparat penegak hukum hingga tahu betul seseorang betul-betul tak bermasalah,” kata Yusril.
Jadi meski pengangkatan menteri sepenuhnya ialah kewenangan dan prerogatif Presiden, ujar Yusril, Presiden seharusnya berkonsultasi dengan Wakil Presiden dan Menteri Sekretaris Negara.
“Pada masa Pak Harto dan SBY begitu. Waktu dengan SBY, saya (kala itu menjabat Mensesneg) terlibat soal
reshuffle. Saya dipanggil SBY ke Yogya, lagi kami diskusi panjang. SBY juga minta pendapat Pak JK, baru besoknya mengumumkan
reshuffle kabinet,” ujar Yusril.
Saat itu, Yusril juga berkoordinasi dengan Menkumhan dan BIN untuk mengklarifikasi rekam jejak calon-calon menteri.
Terkait kebijakan yang telah diambil Arcandra selama 20 hari menjabat, Yusril mengatakan hal itu sah dari segi hukum. Sebab pemberhentian Arcandra tak berlaku surut.
“Apa yang dilakukan Pak Arcandra adalah sah. Tugas menteri penggantinya untuk mengevaluasi kebijakan yang dia keluarkan,” ujar Yusril.
Sebelumnya, anggota Komisi III Bidang Hukum Nasir Jamil menduga Arcandra diangkat bukan atas kemauan Presiden. Ia berkata hendak menggulirkan hak interpelasi atau hak bertanya kepada Presiden untuk mengetahui soal itu.
“Pegang paspor asing kok bisa lolos jadi menteri? Kan tidak mungkin begini. Ini bukan tingkat RT,” kata politikus PKS itu.
(agk)