Jakarta, CNN Indonesia -- Waktu 10 tahun, dan bahkan 32 tahun, sudah sangat cukup untuk membuat publik mengingat kediaman pribadi sang penguasa. Pusat kekuasaan yang identik dengan Istana Negara tak jarang bergeser, membuat publik merekam bahwa rumah memiliki kekuatan yang sama dengan Istana.
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini pun masih menunjukkan pengaruhnya di kancah politik nasional—Jakarta sebagai barometer politik Indonesia. Yang menarik, pengaruh itu salah satunya terlihat dengan pemilihan kediaman pribadi SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, sebagai lokasi untuk membahas panasnya tensi politik Jakarta.
Pucuk pimpinan partai yang belum memiliki kandidat kuat untuk diusung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI 2017, diajak berembuk di Cikeas, mulai Rabu malam (21/9) hingga Kamis dini hari, dan berlanjut pada Kamis siang hingga Jumat dini hari tadi (23/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Posisi SBY sebagai Ketua Umum, Ketua majelis Tinggi Partai, merangkap Juru Bicara Partai memang tidak bisa disepelekan. Ditambah lagi pengalaman 10 tahun berkuasa—dengan segala latar belakang kemenangannya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 mengalahkan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.
Meski nampaknya pertemuan Cikeas kebingungan memutuskan kandidat untuk melawan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat, namun SBY berhasil menunjukkan dirinya belum kehilangan kekuatan.
Penunjukkan Ahok-Djarot atas kuasa Megawati di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dibalas SBY lewat poros Cikeas. Semakin melanggengkan rivalitas politik di antara keduanya, yang nampaknya tidak akan berakhir.
Pertemuan maraton di Cikeas melahirkan pasangan kejutan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni yang diprediksi dapat menjegal langkah pasangan petahana. Di Cikeas, SBY benar-benar menunjukkan keseriusan menggarap pesta politik Jakarta.
Meski nama Agus diklaim sebagai usulan dari tiga partai, PAN, PKB, dan PPP—dan bukan dari internal Demokrat atau keluarga Yudhoyono—namun kental sekali pengaruh SBY dalam pertemuan di “Istananya” tersebut.
Berkuasa selama 10 tahun, Cikeas memang kerap dijadikan tempat untuk membahas situasi genting dan mengambil berbagai keputusan penting.
Pertemuan Rabu malam hingga Jumat dini hari tadi (23/9), menambah panjang daftar peristiwa politik penting yang diputuskan di Cikeas. Para pucuk pimpinan empat partai berembuk di Cikeas membahas kandidat untuk melawan Ahok pada pesta politik Jakarta 2017.
Mereka adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, dan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan.
 Kediaman pribadi mendiang Presiden kedua Soeharto di Jalan Cendana. (CNNIndonesia/Abraham Utama) |
Politikus Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang juga putra bungsu SBY, mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga kader Demokrat Amir Syamsuddin, serta Roy Suryo juga ikut hadir.
Saat masih berkuasa, SBY memanggil para menteri ke Cikeas ketika mendengar kabar kader Demokrat yang menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), awal September 2014.
Terkait larangan ekspor produk mineral olahan yang efektif per 12 Januari 2014 juga pernah pernah membuat SBY mengumpulkan para menteri di Cikeas.
Pembahasan persiapan pemakaman Ketua MPR kala itu Taufiq Kiemas pada Juni 2013 juga dibahas di kediaman pribadi SBY bersama para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
Pada Mei 2013, Wakil Presiden Boediono dan sejumlah menteri bidang perekonomian dipanggil ke Cikeas untuk membahas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Cikeas kembali dipilih untuk menggelar rapat tertutup dengan pengurus Demokrat pada 9 Desember 2012, segera setelah SBY menerima pengunduran diri Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang menjadi tersangka korupsi proyek Hambalang.
SBY juga pernah mengumpulkan para staf khusus untuk membahas perkembangan rencana reshuffle KIB II, Oktober 2011.
Bukan hanya SBY dengan “Istana” Cikeasnya, Megawati juga menjadikan kediaman pribadinya di Jalan Teukur Umar Nomor 27, Jakarta, sebagai lokasi penting mengambil kebijakan. Keputusan mencalonkan Ahok-Djarot juga diambil dibuat di rumah itu.
Jauh sebelum SBY dan Megawati menjadikan kediaman pribadinya sebagai “Istana” kedua, Presiden kedua Indonesia Soeharto telah lebih dulu melakukannya di kediaman pribadi Jalan Cendana Nomor 6-8, Menteng, Jakarta.
 Mobil Djarot Syaiful Hidayat memasuki kediaman Megawai Soekarnoputri. (Detikcom/Andhika Prasetia) |
Malam tanggal 20 Mei 1998—malam terakhir Soeharto menjabat Presiden—Cendana menjadi saksi kegundahan hati Soeharto menyusun pidato pengunduran dirinya. Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto akhirnya tumbang, dengan Cendana menjadi saksi bisu.
Malam itu di Cendana Nomor 8, hanya ada Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid dan Yusril Ihza Mahendra yang berkutat membantu Soeharto menyusun naskah pidato yang dibacakan pada 21 Mei 1998 di Istana Negara.
Begitu kuat kekuasaan Cendana di era Orde Baru, membuat perkara hukum yang mengikuti lengsernya mendiang Soeharto membuat kediaman pribadinya itu tak luput dari penggeledahan.
Rabu, 8 November 2000, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Antasari Azhar memimpin penggeledahan di sejumlah lokasi terkait Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Selain kediaman Tommy di Jalan Yusuf Adiwinata Nomor 4, rumah Cendana juga menjadi sasaran penggeledahan.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut, leadership SBY sebagai salah satu alasan keberadaan elite partai politik di Cikeas.
“Betul setelah absen lama, SBY kembali muncul. Ini menunjukkan bahwa partai-partai melihat ada leadership dari Pak SBY. Pak SBY relatif dipercaya, bisa meyakinkan partai lain,” ujar Siti kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/9).
Pengamat politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi mengatakan, pemilihan tempat di Cikeas tak hanya perkara sederhana memilih lokasi bertemu. Tetapi menunjukkan bahwa SBY masih memiliki pengaruh besar dalam peta politik di Indonesia.
“SBY menjadi primus interpares, yang dituakan dalam krisis kepemimpinan partai. Mereka ingin menguatkan iman partai untuk mencari lawan Ahok,” kata Kristiadi.
(rdk/agk)