Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa tak kenal Fahri Hamzah? Wakil Ketua DPR itu kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memicu perdebatan publik. Kontroversi demi kontroversi yang dibuat Fahri, akhirnya mendorong Partai Keadilan Sejahtera memecatnya.
Fahri dipecat pada April 2016 karena dianggap tidak disiplin dan mengikuti aturan partai. Sejumlah hal yang disoroti di antaranya adalah pembelaannya terhadap Setya Novanto dalam kasus ‘Papa Minta Saham’ hingga dukungan pembubaran KPK. Sikap Fahri ini dianggap bertentangan dengan pendapat pimpinan PKS lainnya.
Tak terima dengan pemecatan tersebut, Fahri lantas mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hasilnya hakim menyatakan Fahri masih sah sebagai anggota DPR dan Wakil Ketua DPR periode 2014–2019 dari PKS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu tahun berlalu pascaputusan pengadilan. Fahri masih menjabat Wakil Ketua DPR. Namun polemik soal keabsahan status Fahri belum berhenti dipersoalkan PKS. Terakhir, anggota fraksi PKS
walk out dalam rapat paripurna pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 pada Mei lalu.
Aksi
walk out itu dilakukan lantaran PKS tak setuju rapat paripurna dipimpin Fahri yang dianggap tak lagi mewakili partai sehingga tak memiliki legitimasi politik. Namun upaya politik dari PKS itu tak mampu menjinakkan sikap dan pemikiran politik Fahri.
Fahri tak berubah. Di tengah statusnya yang masih abu-abu, ia masih menjadi sosok yang paling giat mewacanakan pembubaran KPK.
Politikus asal Utan, Sumba, Nusa Tenggara Barat itu juga mendukung pembentukan Panitia Khusus Hak Angket untuk lembaga antirasuah. Dan, teranyar, ia menuding Ketua KPK Agus Rahardjo melakukan konspirasi terkait kasus mega korupsi proyek e-KTP.
Dari segi hukum tata negara, pakar hukum Refly Harun mengatakan PKS masih memiliki hak untuk mencopot Fahri dari jabatan sebagai Wakil Ketua DPR.
Refly membandingkan dengan Setya Novanto yang dengan mudah menjabat kembali sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komarudin beberapa waktu lalu.
Kasus Setya itu, kata Refly, bisa terjadi karena jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR sepenuhnya ditentukan oleh partai. Dalam kasus Fahri dan Setya, jabatan itu ditentukan oleh keputusan PKS dan Partai Golkar.
"Ini mestinya jadi hak PKS untuk mengganti. Tidak ada masalah pun, jabatan itu bisa sewaktu-waktu diganti kok," kata Refly kepada CNNIndonesia.com.
Adapun soal kemampuan Fahri mempertahankan jabatannya hingga detik ini, Refly menduga hal itu lebih disebabkan oleh faktor politik.
Refly menyebut Fahri mampu bertahan lantaran sejumlah pimpinan DPR kompak mempertahankannya sebagai Wakil Ketua DPR.
"Harusnya (partai) tidak boleh dihalangi. Tapi ini jadi salah kaprah karena pimpinan DPR seperti kolaborasi mempertahankan Fahri," ujarnya.
 Fahri Hamzah kerap menuai pernyataan kontroversial terkait dengan KPK. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak) |
Ketegasan PKSPandangan berbeda dikemukakan oleh pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar. Ia menilai bertahannya Fahri sebagai Wakil Ketua DPR lantaran tak ada kejelasan dan ketegasan dari PKS terkait pemecatan Fahri.
Seharusnya, kata Idil, PKS melakukan langkah yang sesuai aturan partai sehingga tak ada alasan bagi Fahri untuk menggugat keputusan partai. "Jadi, semestinya pimpinan PKS bisa lebih jelas dan tegas lagi," ujar Idil.
Meski demikian, Idil juga mengakui jabatan Fahri saat ini tak lepas dari peran pimpinan DPR lainnya. Secara politik, Idil menyebut ada timbal balik dari pimpinan DPR untuk 'menjaga' Fahri.
"Karena Fahri sering bela pimpinan DPR lain sehingga mereka saling menjaga. Itu yang kemudian muncul timbal balik di antara keduanya," tutunya.
Senada, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Soedjito menyebut nasib Fahri sepenuhnya menjadi keputusan PKS. Sebab, kata Arie, sesuai ketentuan Undang-undang MD3, anggota dewan yang terpilih berasal dari partai tertentu.
Dengan dasar itu, jabatan seseorang di dewan otomatis akan gugur jika dipecat partai yang menaunginya. Untuk Fahri, Arie menyebut politikus berusia 45 tahun itu telah kehilangan legitimasi politik dari PKS.
"Sebab, bagaimana pun parlemen tetap tergantung pada keputusan partai," ucapnya.
Fahri sendiri berkukuh dirinya masih sah sebagai kader PKS. Ia merujuk putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatannya. PKS, kata Fahri, mestinya juga menaati putusan pengadilan.
"Secara UU kita harus tunduk pada putusan pengadilan yang sudah memenangkan saya. Kita ini hidup di negara hukum, jadi ini harus diikuti," ujar Fahri singkat melalui rekaman video yang dikirimkan.
Dengan putusan pengadilan itu, polemik status Fahri masih jauh dari kata berakhir. Dan selama itu pula Fahri akan terus mewarnai kancah politik parlemen lewat pernyataan dan sikapnya yang kontroversial.