Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam satu bulan terakhir, sedikitnya ratusan kasus infeksi Covid-19 dilaporkan terjadi pada tenaga kesehatan (nakes) dan warga yang sudah mendapatkan suntikan vaksin Sinovac dengan dosis lengkap.
Jumlah kasus di seluruh Indonesia belum pernah dirilis secara resmi oleh pemerintah, tetapi dapat mencapai ribuan setelah dilaporkan terjadi setidaknya di Kudus, Semarang, Jepara, Tulungagung, Ponorogo, Jakarta, Tangsel, Bogor, Bandung dan Palembang.
Sebagian kasus dilaporkan merupakan infeksi ringan hingga sedang tanpa gejala parah yang memerlukan perawatan intensif atau alat bantu pernafasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Mikrobiolog Ines Atmosukarto, situasi ini bukan menunjukkan vaksin Sinovac tidak berfungsi. Apalagi, sejak awal uji klinis Sinovac memang menunjukkan efikasi yang lebih rendah dari beberapa vaksin lain yang kini umum dipakai.
"Tetap saja, vaksin meski lebih rendah efikasinya, masih jauh lebih bagus dari pada tidak vaksin dan akibatnya (kalau terinfeksi) mereka semua bergejala parah. Yang perlu diingat saya baca di RSHS Bandung, ada 212 orang terinfeksi setelah vaksinasi tetapi hanya 12 yang perlu perawatan rumah sakit. Ini tanda vaksin Sinovac is working," tegas Ines.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 PB IDI Prof Zubairi Djoerban memberi penegasan serupa. Mengutip data vaksinasi di AS yang hingga April lalu telah mencakup 101 juta penerima, Zubairi mengatakan bahkan vaksin yang dianggap sangat efektif seperti Pfizer, Moderna dan Johnson and Johnson sekalipun, tak menjamin kekebalan sempurna.
"Ada lebih dari 10ribu kasus infeksi Covid di AS padahal mereka sudah divaksinasi. Ya tentu di tengah situasi gelombang pandemi di Indonesia sekarang ini, infeksi pada nakes ini mengkhawatirkan sekali. Tetapi di Amerika, Italia, Spanyol, di mana-mana lah, memang risiko penularan lebih tinggi pada nakes daripada warga umumnya."
Belum Ada Bukti Booster Dibutuhkan
Dalam wawancara dengan Bloomberg (20/6), ahli Kesehatan WHO Soumya Swaminathan mengatakan hingga kini belum ada bukti yang bisa dipakai sebagai pembenaran dibutuhkan vaksinasi tambahan (booster) bagi orang yang sudah divaksinasi.
Booster sendiri dapat berbentuk suntikan kedua dengan jenis vaksin berbeda, suntikan vaksin ketiga setelah dosis lengkap, atau vaksin reguler tiap tahun untuk memperkuat kekebalan seperti vaksin flu.
WHO telah membentuk panel untuk mempelajari efikasi berbagai bentuk vaksin yang kini sudah mendapat izin resmi pakai berbagai negara, termasuk Sinovac.
Sebuah panel ahli yang diwawancarai Reuters Mei lalu, menyimpulkan hal sama. Salah seorang di antaranya adalah Tom Frieden, mantan kepala Pusat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular (CDC) AS yangmengatakan bukti ilmiah mendorong booster vaksin masih nihil.
"Nol. Sama sekali tidak ada bukti ke arah itu. Sangat tidak patut mengatakan kita mungkin butuh suntikan tiap tahun karena sekarang ini kita belum tahu kondisinya akan seperti apa," kata Frieden.
Ia mengomentari pernyataan pabrikan vaksin yang mengunggah narasi perlunya booster bahkan setelah vaksinasi Covid lengkap. CEO Pfizer Albert Bourla April lalu misalnya, mengatakan ada "kemungkinan" dosis booster dibutuhkan setelah setahun suntik vaksin.
Sementara CEO Moderna Stephane Bancel menyatakan pabriknya akan memproduksi vaksin untuk Covid varian Beta yang mulanya muncul di Afrika Selatan dan memperkirakan booster vaksin akan dibutuhkan.
Para ahli mengkhawatikan pabrikan vaksin ini mengarahkan narasi tentang pentingnya booster.
Akibatnya, ditakutkan kebijakan yang diambil pemerintah berbagai negara lebih didorong oleh strategi pemasaran pabrikan vaksin ketimbang karena kebutuhan darurat kesehatan.
Suntikan Booster di Berbagai Negara
Tetap saja, munculnya ribuan kasus infeksi pasca-vaksinasi mendorong berbagai negara untuk menyiapkan rencana booster vaksin. Sebagian didasari atas kekhawatiran sukar membentuk kekebalan komunal (herd immunity) jika pandemi berkepanjangan akibat berbagai varian baru yang lebih ganas dan kebal vaksin.
Komite Penasihat Imunisasi Nasional Kanada menyarankan penerima dosis pertama vaksin AstraZeneca mendapat dosis kedua dari vaksin yang dikembangkan dengan metode mRNA seperti Pfizer atau Moderna. Kombinasi ini dianggap lebih ampuh untuk mencegah infeksi varian ganas Covid.
Pemerintah Inggris juga berencana memberikan suntikan vaksin tambahan pada musim gugur tahun ini.Menteri Kesehatan Matt Hancock mengatakan rincian aturannya akan dirumuskan dalam beberapa pekan ke depan.
Pemerintah Uni Emirat Arab sejak Mei juga menawarkan suntikan booster untuk warga yang sudah menerima dosis lengkap vaksin Sinopharm.
Sinopharm--sebagaimanaSinovac-- juga buatan pabrikanChina dan sudah mendapat izin pakai darurat dari WHO untuk vaksinasi Covid. Menurut Otoritas Manajemen Bencana UEA, prioritas pemberian suntikan booster adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun sekaligus punya penyakit penyerta.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum membahas isu booster secara terbuka. Juru bicara pemerintah untuk vaksinasi Siti Nadia Tarmizi mengatakan pemerintah menunggu hasil kajian ilmiah untuk mendapat kepastian apakan booster memang diperlukan.
"Kita tunggu selesai uji klinis tahap tiganya, rekomendasi WHO. ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) juga kita tunggu masukannya."
Ahli mikrobiologi Ines Atmosukarto berpendapat fokus harus diberikan untuk memastikan semua orang mendapat vaksinasi lengkap lebih dulu, dengan vaksin apapun yang tersedia saat ini.
"Soal booster dengan vaksin mRNA spt yang dilakukan Kanada sekarang memang bagus. Kalau vaksinnya ada. Kalau belum - ya jangan sampai menjadi penghambat."
Saat ini Indonesia masih menunggu datangnya kiriman jutaan dosis vaksin baru dari Pfizer dan Novavax. Menurut Ines, jika tuntutan vaksinasi Covid sudah terpenuhi, program booster dapat dilakukan dengan dua jenis vaksin tersebut dengan nakes sebagai prioritas utamanya.