Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membuka peluang untuk membahas kembali Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena banyak masyarakat yang mengadukan aturan ini, terutama pasal 27 tentang yang sering digunakan untuk menjerat seseorang dengan alasan pencemaran nama baik.
Rudiantara mengatakan, sejatinya UU ITE dibuat untuk memastikan bahwa transaksi keuangan secara elektronik bersifat sah. Namun, ia mendapat aduan bahwa ada pasal yang digunakan untuk menjerat seseorang yang bersifat kritis di media internet.
Rudiantara mengutip data yang dirilis Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), bahwa setiap bulan rata-rata terdapat 4 kasus yang berkaitan dengan UU ITE pada 2014 ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Revisi khususnya pasal 27 UU ITE, itu baru opsi bagi saya, karena kan nantinya masih masuk dulu ke DPR," ujar Rudiantara seraya mengatakan hal itu masuk dalam program kerja 100 harinya.
Rudiantara juga mengkritisi isi UU ITE yang memungkinkan aparat penegak hukum melakukan penangkapan terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilaporkan.
Sebelumnya, Rudiantara sempat didesak oleh sejumlah kelompok masyarakat untuk melakukan revisi UU ITE. Kelompok yang mendesak itu antara lain adalah SafeNet, Forum Pembela Internet, Change.org, ICT Watch, Relawan TIK, dan Kelompok Korban UU ITE.
Menurut Damar Juniarto, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), sejak 2008 hingga 2014 terdapat 69 kasus terkait UU ITE yang terlacak.
MultitafsirDamar mengatakan sering kali terjadi multitafsir tentang kalimat "transmisi elektronik" di pasa 27 sehingga antara ruang privat dan ruang publik rentan dikriminalisasikan.
“Kalau orang mengirim SMS itu kan sifatnya pribadi. Kalau
mailing list atau media sosial sifatnya publik. Nah, di UU ITE ini tidak ada batasan mana pribadi dan mana publik,” ujar Damar.
Para pengamat juga mengkritisi kasus pencemaran nama baik di Indonesia yang masuk dalam ranah pidana dengan ancaman 6 tahun atau denda Rp 1 miliar. Sementara di sejumlah negara maju, termasuk Inggris, kasus pencemaran nama baik masuk ranah perdata dan korban harus bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar dirugikan.
Prita Mulyasari adalah 'korban' pertama UU ITE —termasuk pasal 27 ayat 3— setelah ia menulis keluhan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional melalui email.
Pada Agustus 2014, pasal ini digunakan untuk menahan Florence Sihombing, mahasiswi pascasarjanan Universitas Gadjah Mada, yang dinilai menghina warga dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam statusnya di media sosial Path.
Terakhir, pasal ini menjerat Evrani dari Yogyakarta, yang menulis kritik di Facebook kepada Toko Jolie Jogja Jewellery yang memecat suaminya karena menolak pindah tugas ke Cirebon. Seorang karyawan toko itu, Diah Sarastuty, melaporkan Evrani ke Kepolisian Daerah DIY.
Kasus pencemaran nama baik yang berasal dari sebuah publikasi dunia maya banyak menimpa pengguna yang memanfaatkan Facebook (sebanyak 25 kasus), Twitter (16 kasus), blog dan BlackBerry Messenger (masing-masing 4 kasus), email (3 kasus), SMS, media
online, dan YouTube (masing-masing 2 kasus), serta Path dan petisi digital (masing-masing 1 kasus).