Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok Information Technology Industry (ITI) baru-baru ini menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak adanya campur tangan pemerintah yang hendak mengutak-atik sistem enkripsi mereka.
Kelompok yang terdiri dari sekitar 60 perusahaan penyedia jasa telekomunikasi ini menolak untuk memberikan akses kepada pihak ketiga seperti pemerintah untuk mengambil data dari sistem enkripsi melalui 'backdoor' atau 'pintu belakang'.
(Ikuti Fokus: Gaduh soal ISIS di Dunia Maya)"Kami sangat menghargai kerja penegakan hukum dan sistem keamanan nasional untuk melindungi kami. Namun, melemahkan enkripsi atau membuat 'pintu belakang' bagi perangkat engkripsi dan data yang akan digunakan oleh 'orang-orang baik' sebenarnya malah akan membuat aplikasi semakin rentan untuk bisa dieksplositasi dan disalahgunakan oleh 'orang-orang jahat'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini juga dapat mengakibatkan dampak berbahaya, baik secara fisik maupun secara finansial terhadap masyarakat dan ekonomi kita," ungkap ITI.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respon setelah banyak pihak seperti, John Brennan (Direktur CIA), kejaksaan distrik Manhattan, serta beberapa anggota Kongres AS mendesak para penyedia jasa telekomnikasi untuk memberikan akses khusus bagi pihak yang memiliki otoritas, khususnya pemerintah untuk bisa memonitor komunkasi warga negara, serta mengambil data yang diperlukan untuk suatu penyelidikan.
Dilema terkait enkripsi ini juga semakin mencuat pasca serangan di Paris pada 13/11, di mana badan intelijen Perancis berhasil mengetahui bahwa salah seorang yang diduga sebagai pelaku teror bernama Abdelhamid Abaaoud sempat melakukan komunikasi dengan berbagai pihak lain yang berlokasi di Belgia, Suriah, dan Maroko.
ISIS sendiri mengaku telah menggunakan Telegram, salah satu aplikasi pesan dengan enkripsi 'teraman' untuk melakukan propaganda dan menjalin komunikasi dengan para pengikutnya, bahkan bertanggung jawab terhadap serangan yang mengakibatkan kecelekaan pesawat jet Rusia di Semenanjung Sinai yang menewaskan 224 orang.
Meskipun demikian, sederet perusahaan penyedia jasa telekomunikasi ini tetap menyatakan keberatannya bila pemerintah ingin agar sistem enkripsi mereka 'dilemahkan'.
Mereka tetap peduli terhadap pemberantasan komunkasi virtual kelompok teroris, namun pada dasarnya mereka akan tetap memegang komitmen untuk menjamin keamanan data para penggunanya, seperti yang dilakukan oleh Telegram, salah satu platform komunikasi yang sedang 'populer' di kalangan kelompok teroris.
Information Technology Industry adalah sebuah kelompok yang terdiri dari berbagai industri penyedia jasa teknologi dan komunikasi, seperti Google, Apple, Microsoft, Intel, dan Facebook.
Pada tanggal 8 Juni 2015, ITI dan Software & Information Industry Association juga sempat menuliskan surat kepada Barrack Obama terkait penolakan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang ingin 'merusak' teknologi enkripsi.
Ilustrasi. (REUTERS/Dado Ruvic) |
Dalam suratnya, ITI menuliskan: "Enkripsi adalah perangkat keamanan di mana sehari-hari kami bergantung pada sistem ini untuk menghentikan tindak kejahatan yang ingin mencuri data akun bank serta melindungi properti, seperti mobil dan pesawat dari tindak pembajakan. Pada dasarnya teknologi ini digunakan untuk menjaga keamanan dan keselamatan kita."
Mengutip dari CBS News, ITI mengatakan bahwa melemahkan sistem keamanan dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan pada dasarnya adalah suatu hal yang tidak masuk akal.
"Setelah kejadian mengerikan seperti tragedi penyerangan di Paris, kami tentu saja berusaha mencari sebuah solusi. Melemahkan sistem enkripsi bukanlah sebuah solusi," kata Dean Garfield, presiden ITI yang ditulis dalam Reuters.