Hamburg, CNN Indonesia -- Sistem operasi komputer buatan Korea Utara mencerminkan keadaan politik negara itu: pendekatan untuk mandiri, tingkat paranoid yang tinggi dan mampu mematai-matai penggunanya dengan ketat.
Kesimpulan ini diambil oleh dua peneliti Jerman yang mempelajari kode sistem operasi komputer Korea Utara itu.
Penelitian mereka, yang merupakan penelitian paling dalam terhadap sistem operasi atau OS Korea Utara bernama Red Star, ini menggambarkan tantangan yang dihadapi Pyongyang dalam mencoba mengambil manfaat komputer dan internet, sambil tetap mengekang ide dan budaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Florian Grunow dan Niklaus Schiess dari perusahaan keamanan teknologi industri Jerman bernama ERNW GmbH, berbicara kepada kantor berita Reuters sebelum menyajikan penemuan mereka di Kongres
Chaos Communication di Hamburg. Kongres pada Minggu (27/12) ini adalah pertemuan para peretas dan peneliti keamanan komputer.
Setelah mengunduh piranti lunak itu dari satu situs di luar Korea Utara dan mempelajari kodenya secara rinci, kedua peneliti ini menyimpulkan bahwa sistem operasi buatan negara yang sangat tertutup itu bukan hanya tiruan sederhana sistem operasi buatan negara-negara barat seperti yang diasumsikan banyak orang.
“[Mendiang] Kim Jong Il mengatakan Korea Utara harus mengembangkan satu sistem sendiri,” kata Grunow. “Inilah hasilnya.”
Korea Utara, dengan sistem internet terbelakang yang tidak terhubung dengan internet di luar negara itu, telah mengembangkan sistem operasi itu selama lebih dari satu dekade.
Versi paling baru, dibuat sekitar 2013, didasarkan pada satu versi Linux bernama Fedora dan menjauhkan diri dari Windows XP tetapi cenderung dekat ke sistem operasi OSX milik Apple.
Ini kemungkinan sejalan dengan pemikiran Kim Jong Un yang seperti mendiang ayahnya pernah diambil gambarnya dekat komputer Macs.
Tetapi di balik itu semua ada banyak keunikan, seperti versi enkripsi file buatan sendiri.
“Ini adalah sistem operasi penuh dimana mereka mengendalikan sebagian besar kodenya,” kata Grunow.
Kedua peneliti ini menambahkan bahwa fakta tersebut mengisyaratkan bahwa Korea Utara ingin menghindari kode yang kemungkinan bisa dibobol oleh badan-badan intelijen asing.
“Mungkin latar belakangnya lebih karena rasa takut,” kata Grunow. “Mereka ingin lepas dari sistem operasi lain karena takut akan
back doors” yang kemungkinan bisa membuat pihak lain memata-matai mereka."
Grunow dan Schiess mengatakan tidak memiliki data terkait jumlah komputer yang mempergunakan piranti lunak itu.
Meski jumlah pengguna komputer pribadi di Korea Utara meningkat, orang yang pernah ke sana mengatakan bahwa sebagian besar komputer di negara itu masih mempergunakan sistem operasi Windows XP yang dibuat hampir 15 tahun lalu.
Tak Bisa DiubahSistem operasi Red Star membuat penggunanya sulit melakukan perubahan.
Jika seorang pengguna mengubah fungsi-fungsi utama, seperti mematikan pemeriksa antivirus atau
firewall, komputer itu akan menampilkan pesan error atau secara otomatis reboot.
Red Star juga menjawab kekhawatiran yang lebih mendesak: membongkar kegiatan bertukar film, musik, karya sastra asing yang diam-diam dilakukan.
Di Korea Utara, media ilegal biasanya disebar dari satu tangan ke tangan lain dengan mempergunakan USB dan kepingan microSD. Hal ini membuat pemerintah kesulitan melacak sumber barang-barang asing itu.
Red Star menjawab masalah ini dengan menandai, atau memberi tanda, di setiap dokumen atau file media di satu komputer atau USB yang terkoneksi dengan komputer tersebut.
Hal ini berarti setiap file bisa dilacak ulang ke seseorang yang sebelumnya membuka atau membuat file tersebut.
 Sistem Operasi Korea Utara cenderung mendekati OSX Apple yang kemungkinan sejalan dengan preferensi Kim Jong Un yang terlihat memiliki komputer Apple. (Reuters/KCNA) |
“Ini jelas-jelas pelanggaran hak privasi, hal ini tidak dijelaskan kepada pengguna,” kata Grunow. “Itu dilakukan diam-diam dan mencakup file-file yang bahkan belum dibuka sekalipun.”
Nat Kretchun yang berpengalaman dalam penyebaran media negara asing di negara-negara tertutup, mengatakan bahwa upaya itu menggambarkan kesadaran Korea Utara dengan kebutuhan akan “cara-cara baru untuk memperbaiki prosedur pengawasan dan keamanan sebagai reaksi dari teknologi dan sumber baru informasi jenis baru.”
Keduanya mengatakan sistem operasi ini tidak menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan kemampuan serangan siber Korea Utara seperti yang dituduhkan banyak pihak.
“Tampaknya mereka hanya mencoba membuat satu sistem operasi untuk mereka sendiri, dan memberi pengguna satu set aplikasi dasar,” kata Grunow.
Aplikasi itu antr lain
word processor Korea, kalender dan program untuk membuat dan menulis musik.
Korea Utara bukan satu-satunya negara yang mencoba mengembangkan sistem operasi komputer sendiri.
Kuba memiliki sistem operasi komputer bermana National Nova, sementara China, Rusia dan negara lain juga mencoba mengembangkan sistem operasi komputer sendiri.
(yns)