Jakarta, CNN Indonesia -- Twitter baru saja memperbarui peraturan menggunakan layananya. Melalui peringatan yang bersifat lebih umum, Twitter menghimbau agar akun-akun tidak digunakan untuk mempromosikan kekerasan terhadap orang lain.
“Pembaruan bahasa yang dilakukan menekankan bahwa Twitter tidak akan memberi toleransi kepada perilaku yang ditujukan untuk melecehkan, mengintimidasi, atau menggunakan ketakutan untuk membungkam suara pengguna lain,” ungkap Megan Cristina, Director of 'Trust and Safety' Twitter yang dilansir dalam
The Verge.Salah satu pembaruan yang dilakukan adalah adanya penambahan bagian yang menyatakan pelarangan perilaku kebencian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Anda tidak diizinkan untuk mendukung kekerasan atau secara langsung menyerang atau mengancam orang lain berdasarkan pada ras, etnis, asal negara, orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, afiliasi agama, usia, disabilitas atau penyakit,” tulis peraturan baru Twitter.
Twitter memang diketahui telah melakukan berbagai pembaruan peraturan sepanjang tahun ini untuk mengurangi tingkat kekerasan.
“Seperti biasanya, kami merangkul dan mendorong keberagaman pendapat dan kepercayaan, namun kami akan melanjutkan untuk mengambil tindakan terhadap akun yang melanggar batasan,” keterangan Cristina pada blog Twitter.
Twitter juga akan memantau dan merespon penggunanya yang terkesan akan 'melukai dirinya sendiri' dengan cara menghubungi orang tersebut untuk memberikan perhatian terhadap mereka, serta memberikan informasi kontak praktisi kesehatan mental yang dapat dihubungi.
Pembaruan peraturan yang lebih jelas dan tegas ini pun menjadi salah satu langkah tegas Twitter untuk memberantas 'penumpang gelap', seperti kelompok teroris radikal ISIS yang belakangan marak diketahui saling 'berkirim pesan' dan menyebarkan propaganda melalui Twitter dan platform media sosial lainnya.
Sebagaimana diungkapan oleh Rabbi Abraham Cooper, pemimpin Digital Terrorism and Hate Project at the Simon Wiesenthal Center di Los Angeles, ia yakin teroris dan kelompok kebencian akan meninggalkan Twitter bila platform ini menerapkan peraturan yang lebih ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memblokir akun para 'pelanggar aturan' ini serta mencegah mereka membuat akun-akun baru sebagai media propaganda lainnnya.
Berdasarkan data Brookings Institute yang salah satunya ditulis J.M Berger., setidaknya terdapat 46 ribu akun kelompok militan ISIS yang berhasil 'disensus' sepanjang bulan September hingga Desember tahun lalu.
“Definisi baru ini lebih jelas dan memperkecil kemungkinan determinasi apakah sebuah Tweet melanggar aturan atau tidak,” ungkap Berger yang ditulis dalam NBC News.
Di bulan Desember ini, para 'pemangku kedudukan' di Kongres Amerika Serikat pun sempat mengajukan sebuah legislasi yang mengatur operator media sosial, termasuk Twitter dan Facebook Inc. untuk memberitahu pihak federal berwenang bila mendeteksi adanya 'aktivitas teroris'.