GERHANA MATAHARI TOTAL

Gerhana Matahari Total Picu Gempa hingga Air Pasang

Hani Nur Fajrina | CNN Indonesia
Senin, 07 Mar 2016 13:51 WIB
Selain mengubah menjadi gelap, ada dampak lain dari Gerhana Matahari Total ini.
Ilustrasi gerhana matahari total ( JAXA/NASA/Hinode via Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gerhana Matahari Total (GMT) nyatanya tak hanya sekedar fenonema alam biasa. Ada dampak-dampak lainnya yang berpotensi terjadi saat kejadian ini berlangsung.

Dalam beberapa penjelasan, sebuah kondisi di mana posisi Bulan terletak di antara Bumi dan Matahari dan mampu menutup sebagaian atau seluruh cahaya Matahari, itulah fenomena Gerhana Matahari. Sementara ketika puncak gerhana piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh Bulan, maka itu disebut Gerhana Matahari Total.

Hal paling jelas dari fenomena GMT tentu saja 'menyulap' langit menjadi gelap layaknya malam hari. Tak hanya itu, mantan Kepala Observatorium Bosscha, Moedji Raharto menjelaskan dampak potensial dari GMT.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memaparkan sedikit persamaan antara Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan, yaitu sama-sama menyebabkan gaya pasang surut maksimum.

Ia menjelaskan, siklus Bulan dan gaya tariknya terhadap gravitasi sangat kuat. "Hal ini bisa memicu gempa, apalagi untuk daerah-daerah yang rawan mengalami patahan," ungkap Moedji saat berbincang dengan CNN Indonesia.

Moedji tidak bisa memprediksi seberapa besar kekuatan gempa jika benar-benar terjadi, sebab selama ini belum ada dampak yang kentara mengenai gempa yang diakibatkan oleh gerhana.

Ia menambahkan, "tapi pasang surut yang kuat ini memang sudah seharusnya terjadi."

Selain gempa, Moedji menyatakan setiap menjelang Gerhana Matahari akan menimbulkan angin semilir dan suhu lebih rendah dari biasanya di kawasan yang tertutup Bulan.

Hal serupa juga dituturkan oleh Rhorom Priyatikanto, peneliti dari pusat ilmu antariksa di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). "Saat gerhana, sebagaian daerah di permukaan Bumi itu tertutup, sehingga suhunya turun," ungkap Rhorom di kesempatan yang berbeda.

Ia menyambung, "kita akan merasakan angin gerhananya dulu sebelum menyaksikan GMT itu sendiri. Yang jelas, angin itu bukan angin badai melainkan angin sepoi-sepoi saja. Hal ini memang selalu terjadi karena ada perbedaan temperatur."

Terkait dengan hembusan angin yang menjadi 'pembuka' fenomena GMT, Rhorom mengaku tim peneliti masih dalam proses penelitian pengaruh yang terjadi di lapisan atmosfer Bumi yang bernama ionosfer.

Diketahui lapisan ionosfer selama ini digunakan sebagai komunikasi radio, HandyTalkie, dan lain-lain.

"Pada lapisan ionosfer berpotensi mengalami gangguan, tapi sifatnya minor alias tidak dirasakan oleh semua orang. Contoh gangguannya itu sinyal jadi jelek namun hanya berlangsung selama beberapa menit saja," tutur Rhorom.

Pria yang berdomisili di Bandung ini kemudian menekankan, sinyal ponsel cenderung tidak akan alami gangguan.

GMT yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia akan berlangsung pada 9 Maret 2016 esok. Fenomena langka ini, menurut Rhorom, hanya akan terlihat di kawasan Nusantara dan lautan Pasifik.

Sementara Gerhana Sebagian bisa disaksikan di sejumlah negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Australia. (tyo/eno)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER