Jakarta, CNN Indonesia -- Angka kejahatan siber yang terus meningkat secara global menjadi perhatian utama dalam ajang ASEAN IT Security Conference 2016 di Jakarta, Kamis (14/9). Acara yang dihelat oleh International Data Corporation (IDC) ini memperkirakan faktor sumber daya manusia jadi penentu.
Analis senior pasar IDC, Wong Yih Khai, menyebut saat ini perusahaan membutuhkan banyak teknisi keamanan yang handal.
"Pada 2017 nanti banyak perusahaan yang akan kekurangan tenaga keamanan IT," ucap Khai kepada peserta konferensi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukti minimnya ahli keamanan IT tercermin dari besarnya jumlah data beberapa perusahaan dunia yang dibobol kriminal dunia maya. Dropbox misalnya yang baru-baru ini mengumumkan adanya pencurian data yang berasal dari 68 juta penggunanya.
Menurut Khai ada alasan lain mengapa peretasan data terus terjadi. Salah satunya ketakutan perusahaan mengenai reputasi setelah menjadi korban kejahatan siber.
"Reputasi perusahaan menjadi pertaruhan saat keamanan IT mereka berhasil ditembus penjahat," jelas Khai.
Ia mencontohkan bagaimana saham perusahaan mainan asal Hong Kong seperti VTech luluh lantak setelah dikabarkan menjadi korban peretasan sehingga 6 juta data pelanggan mereka terekspos bebas di pasar gelap.
Pembicara lain di acara tersebut, Leonardo Hutabarat, menambahkan alasan lain keamanan IT perusahaan makin riskan adalah ketidaktahuan mereka terhadap persoalan.
"Ada yang tak punya waktu melaporkan ke penyedia jasa keamanan IT. Tapi ada juga yang buta sama sekali," tegas Leonardo.
Perusahaan kerap tak mengerti perlindungan seperti apa yang diperlukan. Mereka terlihat hanya sekadar membelanjakan sejumlah uang demi keamanan berlapis yang belum tentu efektif.
Berdasarkan data Tenable Network Security menunjukkan total belanja perusahaan global untuk keamanan informasi pada 2015 mencapai US$79,6 miliar. Namun angka tersebut tak menghentikan jumlah peretasan yang terus bertambah.
Leonardo yang bekerja untuk perusahaan keamanan IT Forcepoint menghitung kerugian yang dihasilkan kejahatan siber pada 2019 akan mencapai US$2 triliun. Pada 2015 saja, Leonardo mencatat median cost tiap organisasi korban cybercrime menyentuh US$7,7 miliar.
Meski ancaman kejahatan siber terus berkembang dari segi kualitas dan kuantitas, penyedia jasa keamanan IT juga berlomba dalam pacuan yang sama. Forcepoint misalnya yang kini tengah mengembangkan sistem untuk menghadapi ancaman yang belum familiar seperti Advanced Evasion Technique (AET).
Nama AET tak sepopuler teknik peretasan lain seperti APT 28. Namun AET bekerja sangat baik dalam menghindari pelacak sistem keamanan dengan kode kombinasi dan permutasi.
Ancaman kejahatan siber yang kian membesar merupakan peringatan di negara seperti Indonesia yang belum begitu familiar dengan isu ini. Minimnya kebijakan dan payung hukum untuk mengantisipasi ancaman ini diperkirakan akan menjadi masalah serious Indonesia di masa depan.