Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik revisi tarif interkoneksi dan network sharing harus segera dihentikan. Karena menurut Masyarakat Telekomunikasi (Mastel), ada pekerjaan rumah yang lebih besar menanti untuk dituntaskan.
Johni Siswadi dari Mastel Institute, sekaligus Advokat Pusat Informasi Hukum Indonesia (PIHI) mengatakan, pekerjaan rumah yang utama adalah implementasi percepatan pita lebar di Indonesia yang baru berjalan guna perluasan akses telematika merata di semua wilayah.
"Itu yang harus kita kejar karena dibutuhkan saudara kita di daerah marjinal dibandingkan implementasi interkoneksi dan network sharing yang kini berlarut-larut. Jadi, interkoneksi terapkan asimetris dan network sharing itu jangan mandatory (kewajiban, red)," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan asimetris, kata dia, terjadi keadilan dan kesetaraan dari perspektif hukum. Sebab, operator yang memiliki jaringan luas dan memakan biaya investasi dan operasional besar, maka biaya interkoneksinya akan semakin tinggi.
Sebaliknya juga, semakin sempit jaringan suatu operator, maka akan semakin kecil pula biaya jaringannya. Bila menggunakan simetris dalam penerapannya, maka penentuan tarif tidak berdasarkan biaya jaringan setiap operator sehingga tidak tercipta keadilan dan keseimbangan.
"Dan ini juga sesuai komitmen pemberian frekuensi seluler dari pemerintah, yang mana disertai komitmen pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Jadi wajar asimetris karena berbanding lurus dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan operator di lapangan," katanya.
Menurut dia, justru selama ini relatif tidak ada informasi mengapa operator non Telkom Grup tidak memenuhi kewajiban pembangunan berbasis pemberian frekuensi tersebut. Tiba-tiba saja dinilai banyak pihak diuntungkan regulasi interkoneksi terbaru, sehingga wajar jika banyak resistensi.
Sementara untuk regulasi
network sharing, Mastel menilai, biarkan sesama operator seluler mengatur sendiri (business to business/B2B). Jadi, jangan diwajibkan pemerintah untuk membuka jaringannya.
"Serahkan saja ke operator secara B2B, jangan
mandatory. Ini terjadi ketidakadilan hukum jika operator dipaksa buka namun tidak baik secara bisnis. Bagaimanapun, butuh investasi tidak sedikit untuk punya jaringan luas dan menyebar," katanya.
Menurut Johni, jika dipaksa, potensi merugi operator juga otomatis akan tinggi karena pendekatannya pemaksaan regulasi bukan kesetaraan regulasi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh pihak.
Menurut Johni, pemerintah juga harus lebih concern urusan lainnya yang lebih besar yakni memungut pajak dari Over The Top (OTT) seperti Google dan Facebook. Sebab, penerimaan negara tidaklah sebanding dengan potensi bisnis yang diraih OTT yang beroperasi di Indonesia.
Selain soal pajak, dia melihat bahwa kedaulatan informasi sudah seperti menyerahkan leher ke pihak luar Indonesia untuk kemudian dikapitalisasi data personalnya kemudian hari.
(tyo)