Doni Ismanto
Doni Ismanto
Penulis adalah Alumni MM Komunikasi Universitas Trisakti, Pendiri IndoTelko Forum dan Aktif di Indonesia Digital Society Forum (IDSF)

Direvisi, UU ITE Makin 'Menyeramkan?'

Doni Ismanto | CNN Indonesia
Senin, 28 Nov 2016 15:47 WIB
Beberapa poin revisi UU ITE membuat seolah aturan ini makin menjadikan pemerintah layaknya 'dikatator' untuk ditakuti dan kebebasan berpendapat diadang.
Ilustrasi (Foto: StartupStockPhotos)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku pada Senin, 28 November 2016.

Membaca isi berita CNNIndonesia.com ini dengan narasumber Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henry Subiakto membuat kening saya berkerut.

Sekilas saya merasakan (jika membaca isi pemberitaan) hasil revisi UU ITE terkesan menyeramkan bagi pengguna internet.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam berita tersebut dan juga banyak disiarkan oleh media lainnya dinyatakan adanya pasal 26 yang berisikan right to be forgotten atau hak dilupakan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia nantinya. Pasal ini menjadikan masyarakat berhak menghapus pemberitaan mengenai dirinya di dunia maya, bila secara pengadilan tidak terbukti bersalah.

Kemudian di  pasal 27 ayat 3 yang berkaitan pencemaran nama baik di dunia maya terjadi pengurangan lama hukuman  dari enam tahun penjara diturunkan menjadi empat tahun penjara.

Pasal 29 juga mengalami perubahan. Pasal yang berkaitan dengan mendistribusikan informasi dan dokumen elektronik yang berisikan ancaman dan menakut-nakuti secara personal, dikurangi masa hukumannya juga. Dari yang semula hukumannya 12 tahun diturunkan menjadi empat tahun.

Kemudian, Pasal 40 juga diubah yang isinya menjadi kewenangan pemerintah dalam memutuskan informasi yang melanggar undang-undang seperti pornografi, anti NKRI, anti Pancasila, dan menggulingkan pemerintahan di dunia maya.

Singkatnya seperti ingin disampaikan ke publik bahwa di revisi UU ITE masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian. Dalam UU ITE, yang terjerat bukan hanya yang membuat, tapi justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya.

Isu blokir
Dunia maya sontak pada akhir pekan lalu menjadi heboh terutama dikaitkan dengan pasal 40.

Berbagai komentar yang saya lihat di media sosial dari netizen seperti mengkhawatirkan Indonesia kembali ke zaman orde baru dimana kebebasan berpendapat diberangus.

Benarkah demikian? Tidak! Mari kita tarik ke belakang dimana isu pemblokiran sebuah konten di dunia maya bukanlah hal yang baru.

Di era Menkominfo dijabat Tifatul Sembiring sudah ada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif. Saat itu yang paling heboh adalah blokir terhadap konten berbau pornografi.

Sekarang di era Menkominfo dipegang oleh Rudiantara proses blokir dicoba lebih transparan dengan membentuk Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (PSIBN).

Sayangnya, panel ini sudah berakhir masa tugasnya jika merujuk kepada Surat Keputusan (SK) yang diberikan ke anggota Panel pada 2015. Kabarnya, sudah ada anggota panel baru, tetapi hingga sekarang belum diketahui nama-nama anggotanya atau masa berlakunya SK

Menkominfo Rudiantara memang sudah mencoba lebih transparan, tetapi sepertinya tekanan politik menjadikan Kominfo berada dalam posisi simalakama.

Setidaknya inilah yang bisa dipotret dalam pemblokiran portal sejumlah media Islam jelang demo akbar pada 4 November 2016 dan terbaru jelang dijalankannya Revisi UU ITE pada 28 November 2016 dimana portal milik Habib Rizieq diblokir.

Singkatnya dari paparan diatas yang ingin saya sampaikan adalah blokir konten di dunia maya adalah hal yang biasa.

Hal yang disayangkan kenapa dalam mengkomunikasikan pelaksanaan revisi UU ITE ini pejabat di Kominfo tak menonjolkan dampak positif dari perubahan UU itu?

Kominfo harusnya menyadari psikologis masyarakat kita belum sembuh dari trauma orde baru dimana semua aktifitas berada dalam pantauan penguasa. Menonjolkan isu blokir tentu seperti mengembalikan trauma dan resistensi di publik. Alhasil, sebagian masyarakat merasa pemerintah tak melindungi warga negaranya sendiri.

Salah melepas isu ini menjadikan kerja keras dan lobi-lobi agar pengurangan hukuman yang ada di UU ITE menjadi gagal tersampaikan ke publik.

Padahal, inilah salah satu yang menjadi perdebatan selama revisi UU ITE. Jika ditelusur ke belakang, sebagian kelompok masyarakat meminta pasal 27 dicabut secara keseluruhan, sementara pemerintah memberikan jalan tengah berupa pengurangan hukuman agar kasus penahanan langsung setelah ditetapkan tersangka tak terjadi.

Sepertinya Kominfo tak pintar membaca momentum dalam menginformasikan “hasil revisi UU ITE” ini sehingga niat untuk memberikan tata kelola penggunaan internet yang baik malah berbalik menjadi “cibiran” karena dituding akan dijalankannya pola pengawasan ala Departemen Penerangan di masa lalu.

Jalan Keluar
Lantas bagaimana jalan keluar dari telah diciptakannya suasana seolah-olah “Revisi UU ITE” ini menjadi menyeramkan di masyarakat?

Saya usulkan pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk merancang standar prosedur yang disepakati semua pihak untuk pemblokiran sebuah konten. Standar prosedur harus jelas mulai dari tata cara pelaporan, evaluasi, verifikasi, hingga eksekusi. Azas transparansi harus dijaga, selain tentunya faktor kecepatan dalam eksekusi.
Direvisi, UU ITE Makin 'Menyeramkan?'Foto: Basri Marzuki

Hal lain yang harus secepatnya dituntaskan oleh Kominfo adalah membuat sejumlah aturan turunan yang mendukung pasal-pasal di revisi UU ITE tersebut agar kita semua bisa "Move On" untuk menjadi kekuatan ekonomi digital yang disegani masyarakat dunia.
 
Ingat, isu blokir di revisi UU ITE hanya sebagian kecil. Di UU ITE juga ada dampak bagi bisnis digital yang membutuhkan kepastian hukum.

Bagaimana dengan pengguna? Sudah saatnya kita semua menyadari hal yang berlaku di dunia nyata sama dengan dunia maya. Di negara dengan demokrasi yang telah matang sekalipun, aksi blokir terhadap sebuah konten di dunia maya samar-samar terdengar.

Sudah saatnya tagline, “Think before posting” diresapi karena semua tindakan menuntut sebuah tanggung jawab.

Karena, demokrasi tak mengajarkan kebebasan yang kebablasan Bung!

(tyo)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER