Berita Palsu dan Peran Inisiatif Sosial Media

Bintoro Agung | CNN Indonesia
Rabu, 07 Des 2016 11:42 WIB
Media sosial harus berperan aktif untuk membantu menyaring informasi palsu. Twitter telah melakukannya dengan mengubah algoritma juga aduan pengguna.
Peran aktif media sosial diperlukan untuk menyaring berita-berita palsu. (CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Twitter Indonesia tidak begitu khawatir dengan penyebaran berita palsu. Head Country Twitter untuk Indonesia Roy Simangunsong, beralasan pengguna mikroblog ini lebih dewasa dalam menyikapi berita-berita kredibilitasnya meragukan.

"Kalau fake news ini yang saya lihat secara pribadi pengguna Twitter sifatnya lebih mature, jarang men-sharing berita-berita yang sifatnya fake news," kata Roy kepada juru warta di Jakarta, Selasa (6/12).

Roy juga menilai peran media massa Indonesia yang memiliki akun di Twitter turut membantu menyaring informasi-informasi palsu di ranah Twitter. Itu sebabnya Roy tak begitu khawatir dengan ancaman yang ditebar oleh berita palsu yang belakangan marak ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menanggulangi distribusi berita palsu, Twitter mengandalkan dua cara yaitu algoritma dan laporan dari pengguna. Namun Roy menenkankan tindakan Twitter dalam memberantas berita palsu lebih ke laporan pengguna.

"Tidak perlu ratusan atau ribuan, kalau ada 2 atau 3 laporan pelanggaran maka akan segera diproses," ujar Roy.

Langkah ini terkesan pasif untuk dijadikan solusi mengatasi persebaran berita palsu. Sebagai contoh, kasus pemilihan presiden Amerika Serikat yang dimenangkan oleh Donald Trump memanfaatkan penyebaran sentimen negatif berita palsu yang menguntungkannya di sejumlah media sosial seperti Twitter dan Facebook.

"Nyatanya dalam hal angka, saya punya kekuatan yang begitu besar di Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya," ucap Trump seperti yang dikutip dari The Verge.

"Saya rasa media sosial punya kekuatan lebih besar ketimbang uang yang mereka (kubu Hillary Clinton) habiskan."

Dipimpin oleh situs berhaluan kanan, Breitbart, Trump memperoleh dukungan yang fantastis selama masa kampanye. Breitbart menggalang 16 juta pengikut Trump di Twitter dan 16 juta di Facebook. Lewat media sosial, Trump punya ruang yang begitu besar membalas kritik yang ia terima dari media arus utama.

Breitbart pernah beberapa kali membuat berita palsu yang menyerang langsung lawan-lawan politiknya. Salah satu yang paling terkenal adalah artikel Breitbart yang menuduh Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai pendiri ISIS. Tulisan itu dibuat berdasarkan ucapan Trump. Ironisnya, Trump, melalui akun Twitter resminya, mengakui perkataannya hanyalah ungkapan sarkasme.

Namun artikel Breitbart ini telanjur populer. Cukup mengetik kata kunci 'breitbart', 'isis', 'obama', dan 'hillary', dapat terlihat bagaimana seriusnya pendukung Trump menelan informasi itu dan menyebarluaskannya.

Sejumlah pandit dan media telah membuktikan adanya korelasi kemenangan Trump memanfaatkan propaganda berita palsu dengan sokongan pendukung berhaluan kanan baru alias 'alt-right' di AS.

Kolumnis Hannah Jane Parkinson di The Guardian pada pertengahan bulan lalu mengkritik Facebook dan Twitter yang cenderung menghindar dari tanggung jawab sebagai medium informasi yang berpengaruh kepada khalayaknya. Ia menilai media sosial seperti keduanya lamban dan cenderung abai terhadap persoalan yang muncul akibat minimnya pencegahan berita palsu.

Seperti yang diketahui, CEO Facebook Mark Zuckerberg bersikeras dalam beberapa kesempatan bahwa peredaran berita palsu yang hanya 1 persen dari seluruh konten di jejaring sosial itu tak mungkin berdampak ke masyarakat. Ia merujuk ke kasus terpilihnya Trump.

"Secara pribadi, saya rasa dugaan bahwa berita palsu -yang jumlahnya sedikit sekali- mempengaruhi hasil pemilu itu cukup gila," ucap Zuckerberg tak lama ketika Trump terpilih sebagai presiden AS.


Kekhawatiran penyebaran berita palsu tak lagi jadi persoalan AS, namun juga di seluruh dunia. Uni Eropa pun baru-baru ini mendesak perusahaan raksasa teknologi macam Facebook, Twitter, dan Google, untuk mempercepat mencari solusi atas permasalahan ini.

Twitter dan media sosial lainnya bukan tanpa usaha. Twitter misalnya telah merilis fitur untuk 'membungkam' tweet dari akun-akun yang tidak diinginkan. Meski ditujukan untuk mencegah aksi perisakan, fitur ini dapat dimanfaatkan untuk menangkal agresivitas akun penebar informasi palsu.

Hal serupa juga telah dilakukan media sosial lain. Instagram punya fitur pembungkam akun-akun tertentu yang mirip dengan Twiitter tadi. Sedangkan, Facebook masih berupaya keras memperbaiki algoritma mereka agar dapat membedakan mana berita palsu dan mana yang asli.


Indonesia, yang menghasilkan 4,1 miliar tweet per tahun, adalah salah satu negara yang paling cerewet di media sosial. Sedangkan belakangan disinyalir  berita palsu telah berubah menjadi ladang bisnis baru oleh beberapa pihak dengan omzet ratusan juta rupiah per tahun.

Itu sebabnya Indonesia, dengan penetrasi internet yang masih setengah dari total populasi, cukup rentan menghadapi bahaya berita palsu. Menunggu laporan dari pengguna saja tidak akan cukup. Perlu ada inisiatif lebih dari platform berbagi informasi tersebut agar mempersempit ruang pergerakan berita palsu. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER