Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku startup di Indonesia merasa pajak satu persen dari pendapatan kotor mereka memberatkan apalagi bagi yang baru merintis. Menurut mereka akan lebih baik bila dalam pertumbuhan awalnya, startup tidak dikenakan pajak sama sekali.
Keluhan tersebut dikemukakan oleh salah satu pendiri mesin pencari Geevv, Azka Slimi. Dia menilai nilai pajak terlalu berat karena mereka belum mengejar keuntungan.
"Kita kan kebanyakan di awal membesarkan valuasi bukan cash flow, ya tidak ada pemasukan juga kan," ujar Azka ketika ditemui Jakarta, Jumat (24/2).
Azka menilai ekspresinya tersebut tidak berarti ia tidak ingin membayar pajak. Hanya saja, dengan ketentuan yang ada sekarang membuat usahanya sedikit "berdarah".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada juga diungkapkan oleh startup Pop Legal bergerak di bidang pembuatan dokumen hukum. Dimas Prasojo, salah satu pendiri Pop Legal, sepakat bahwa startup lokal patut diberi keringanan terkait pajak ini.
Dimas beralasan startup yang punya pendapatan di bawah Rp3 miliar dibebaskan dari pajak. Pengenaan pajak tak menjadi masalah apabila sebuah startup telah melewati periode hidup-mati di awal.
"Kalau di atas Rp3 miliar itu make sense lah. Cuma ketika market kita belum besar, harusnya jangan dikasih beban pajak sama sekali dulu," tutur Dimas.
Sejatinya pemerintah telah mempertimbangkan keringanan pajak bagi startup yang berumur muda tadi. Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menilai Indonesia perlu konsep pajak baru untuk industri startup di dalam negeri.
Namun Semuel menyebut pemerintah masih samar dengan industri startup. Ia menganggap industri startup dalam negeri harus memetakan kebutuhan dan keinginannya kepada pemerintah terkait pajak ini.
"Industrinya harus juga menghitung kita kan juga tidak tahu maunya seperti apa. Tapi kita akan fasilitasi dengan dirjen pajak," pungkas Semuel yang ditemui di tempat yang sama.
(tyo)