Jakarta, CNN Indonesia -- Lilia Lobato Martinez terjaga sepanjang malam demi menonton video di laman YouTube. Bukan buat mendengarkan musik atau menonton film, melainkan ia menyaksikan tutorial akan kode komputer yang kemudian ia gunakan untuk membangun aplikasi Ool. Aplikasi buatannya ini ditujukan untuk para relawan NGO di Guadalajara, Meksiko.
Di negara asalnya, dunia teknologi dan komputer didominasi para pria. Namun, Lobato bertekad membuktikan bahwa perempuan di kompetisi teknologi juga bisa menjadi pemenang.
Perempuan berusia 18 tahun dan siswa jurusan teknik itu pun kemudian memenangkan kompetisi lewat rencana aplikasi buatannya, serta berhak atas uang hadiah senilai US$ 10,000. Uang itu kemudian ia gunakan untuk mewujudkan pengembangan aplikasi lebih jauh, dengan menghubungkan lebih dari 1.000 relawan dengan 20 organisasi nirlaba di kota ke-dua terbesar di Meksiko itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak orang dengan mudah berkeluh kesah, akan tetapi saya menemukan gagasan bahwa orang tidak akan begitu saja turun ke jalan menjadi relawan, olah karenanya saya memutuskan membuat aplikasi ini," ungkap Lobato, seperti dilansir Reuters, pada Rabu (8/3).
Aplikasi ini, kata dia, juga menjadi wadah dari organisasi nirlaba sehingga lebih jauh dapat mengetahui apa yang sedang berlangsung dan dibangun di Meksiko.
Lobato mengatakan banyak di antara teman perempuannya menjauh dari bidang IT karena sudah lumrah didominasi pria. Hanya empat dari 40 siswa di angkatannya yang terdiri dari perempuan.
Sejumlah pengamat mencatat di negara Amerika Latin, partisipasi perempuan dan wanita di bidang teknologi dan sains memang tergolong masih rendah atau jauh di bawah laki-laki.
Selain itu, kondisi sosial ekonomi yang menekan juga membuat mereka kemudian memilih bekerja daripada melanjutkan studi.
"Laki-laki beprikir bahwa mereka dengan mudah jika bersentuhan dengan teknologi, sementara sebaliknya dengan perempuan," ujar Gloria Bonder, dari UNESCO yang berbasis di Buenos Aires menanggapi persoalan perempuan, sains dan teknologi di Amerika Latin.
Potret perempuan di media serta kurangnya role model yang berkontribusi dalam bidang teknologi juga menjadi salah satu penyebabnya.
Menurut catatan UNESCO, 44 persen dari posisi riset bidang sosial memang perempuan, akan tetapi kondisi itu jauh berbeda di bidang teknologi atau matematika.
Sebagai contoh, di Peru dan Kolombia, sekitar sepertiga peneliti ilmu alam adalah perempuan, akan tetapi hanya seperempat di bidang teknologi.
Dengan demikian upaya akses pendidikan teknologi untuk perempuan pun mulai digalakkan di sejumlah negara di Amerika Latin. Pemberian akses ini diyakini akan membuat peluang perempuan setara dengan laki-laki di bidang teknologi juga menjadi lebih besar.
Pusat pelatihan Di Lima, misalnya, terdapat salah satu akademi yang diikuti siswa perempuan bernama Laboratoria dengan Mariana Costa Checa, sebagai chief executive. Di sini, lebih dari 1.000 perempuan mengirimkan aplikasi untuk dapat ditempatkan di 70 tempat pusat pelatihan atau bootcamp di mana para kandidat dengan latar belakang kurang mampu dilatih menjadi pengembang web atau situs.
Proses aplikasi meliputi sejumlah tes, dengan disertai wawancara dengan keluarga kandidat. Proses ini juga berjalan di Santiago, Mexico City dan kota Arequipa. Para lulusan dari sini dibantu mendapatkan pekerjaan salah satunya di IBM. Selain program komputer seperti JavaScript, mereka juga diberi pengetahuan akan memasuki dunia kerja khususnya bagi mereka yang belum pernah bekerja di sektor formal sebelumnya.
Costa berharap lulusan Laboratoria akan mampu menjadi pemecah masalah di masyarakat di mana mereka tinggal. Selain itu, kemampuan yang mereka miliki akan turut mengubah cara pandang mereka terhadap dunia. Hanya saja, perempuan dari keluarga miskin kadang dibawah tekanan untuk bekerja daripada melanjutkan pendidikan.
Rebeca Vargas, presiden US-Meksiko Foundation mengungkapkan hampir sebagian besar peserta program mentoring STEM tidak menyampaikannya secara terbuka pada orangtua mereka.
Hal ini disebabkan karena keluarga seringkali melihat perempuan mesti berada di rumah tidak untuk mencapai posisi lebih tinggi dalam perusahaan atau dibayar dengan upah tinggi.
"Mereka didorong untuk bekerja, tapi tidak untuk memperoleh pendidikan," tambah Vargas.