Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Hidup jauh lebih sederhana waktu tak ada media sosial. Orang jarang mencaci-maki secara terbuka. Insiden salah paham karena
posting yang memancing emosi lebih mudah dihindari. Provokasi dan ajakan kebencian terbatas peredarannya.
Satu lagi, dan penting untuk kemaslahatan lembaga/organisasi/perusahaan yang mau fokus pada urusan kerja dan memajukan usahanya: zaman tak ada medsos tak perlu berurusan dengan
postingan pegawai yang bisa jadi bumerang bagi nama baik dan kepentingan usaha lembaga.
Jadi gara-gara mau mengontrol citra perusahaan terus karyawan harus dilarang punya ekspresi di medsos, gitu? Dibatasi kemerdekaannya berpendapat? Diresmikan praktik manajemen fasis di Indonesia? Jawabannya ya dan tidak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat teken kontrak untuk mengikatkan diri jadi bagian dari entitas usaha (pemerintah/swasta), Anda sedang merelakan kemerdekaan pribadi, setidaknya sebagian, diatur oleh entitas itu. Mau ikut ayo, tidak mau ya putus. Titik.
Di luar aturan bermedsos, tak banyak disadari kalau penyerahan sebagian kemerdekaan pribadi itu selama ini dianggap cukup lumrah. Hari Senin diwajibkan berseragam hitam-hitam lengan panjang. Rambut mesti dipotong pendek. Dilarang memakai alas kaki tak tertutup. Sebelum liburan ke luar kota mesti pamit (padahal hak cuti dijamin UU Tenaga Kerja). Dilarang menikahi kolega di kantor.
Daftarnya larangan ini bisa panjang.
Ada lagi aturan yang dianggap kontroversial karena berbenturan dengan kepercayaan dan praktik beragama. Misalnya karyawan perempuan dilarang tampil berjilbab. Sebaliknya, ada juga lembaga yang justru mewajibkan jilbab untuk semua karyawati. Ingat kasus ‘imbauan’ Badan Intelejen Nasional bagi pegawai laki-laki untuk tak memelihara jenggot dan bercelana cingkrang? Semacam itu lah.
Toh secara umum, aturan-aturan begini biasanya berjalan dan dipatuhi. Kalau merasa dirugikan, ya biasanya yang bersangkutan diminta keluar. Mungkin bangun perusahaan sendiri supaya tak perlu mengikuti aturan yang dianggap membelenggu kemerdekaan dan hak pribadi. Atau temukan lembaga yang sikap dan pandangannya sesuai dengan ekspresi kita sehingga tetek-bengek aturan ini terasa lebih natural.
Perkembangan media sosial di Indonesia dalam setidaknya lima tahun terakhir menunjukkan betapa mudahnya ekspresi pribadi itu bercampur-baur menjadi stigma bagi lembaga.
Seorang produser di sebuah stasiun televisi swasta ternama terpaksa mengundurkan diri setelah sejumlah kicauannya di Twitter dianggap menghina sebuah kelompok organisasi massa. Dengan cepat stasiun televisi bersangkutan dicap sebagai pembawa suara melecehkan sebagaimana ekspresi medsos si pegawai. Tidak jadi soal bahwa si produser cuma satu dari lebih seribu pegawai dalam perusahaan-–cap telanjur dijatuhkan.
Dalam beberapa kejadian, bahkan
posting yang dibuat dengan niat ‘memperjuangkan keadilan’ juga dianggap pembangkangan dan berujung pemecatan. Seorang guru di sebuah sekolah di Depok mengeluhkan dan mengkritik kebiasaan koleganya di sekolah menerapkan pungli pada siswa. Kritik itu, karena dikeluhkan lewat medsos dianggap mencoreng nama sekolah dan kewibawaan institusi pendidikan bersangkutan. Akhirnya, PHK.
Harapan seorang pegawai honorer di Kabupaten Meranti, Riau untuk diangkat jadi PNS kandas setelah kritiknya terhadap kinerja Dinas di-
posting di medsos. Dalam beberapa tahun mendatang, daftar kasus ini bisa jauh lebih panjang lagi.
 Ilustrasi (CNN Indonesia) |
Pilkada di Jakarta beberapa bulan lalu membawa kerumitan urusan medsos ke level yang tak terbayangkan sebelumnya.
Berkaitan dengan dukung-mendukung calon gubernur, sebuah BUMN memberhentikan pegawai karena
posting di Twitter yang dianggap menghina figur ulama ternama di Jawa Tengah—sang ulama, dianggap condong ke kandidat yang tak disukai si pegawai.
Terakhir, seorang dokter memilih menyelamatkan diri dan anak-anaknya ke ibu kota dari dinas di sebuah RS di Solok Sumatera Barat karena postingnya di Facebook dianggap menghina ulama lain yang selama ini dikenal menyuarakan penolakan terhadap calon gubernur tertentu. Dan seterusnya.
Aturan internal bersosial media tidak menjamin silang-sengkarut ini tidak akan terulang. Tetapi setidaknya menunjukkan kesiapan organisasi terhadap kemungkinan munculnya situasi tak enak akibat penggunaan medsos. Ini penting karena dalam banyak kasus, orang baru sadar telah melakukan kesalahan saat posting terlanjur diklik untuk publik.
It’s too late when it’s, erm, too late.
Konten aturan bermedsos bisa ditetapkan sepihak oleh manajemen organisasi atau, lebih ideal lagi, dibahas antara pegawai dan manajemen (mungkin lewat semacam forum diskusi grup maupun uji publik). Acuan dasarnya bisa UU ITE, seruan kampanye berinternet sehat versi Kementrian Komunikasi dan Informatika, bahkan Fatwa MUI tentang muamalah melalui medsos yang baru dirilis awal Juni lalu.
Sekali ditetapkan, aturan mesti bersifat mengikat dua pihak. Konten terpenting tentu menyangkut apa yang boleh tak boleh dimuat di medsos—foto, sikap politik,
joke rasial, komplain terhadap atasan/perusahaan, menghina orang lain—apa saja yang dipandang penting. Kalau dilanggar, ganjarannya adalah sanksi disiplin yang dipandang sesuai.
Kok fasis bener ya – urusan majang foto saja diatur.
Untuk Anda tahu, universitas seliberal Harvard saja tahun akademik 2017 ini membatalkan masuknya 10 mahasiswa baru karena ketahuan menulis
posting dan membagi (
share) meme bersifat rasial, seksual dan melecehkan perempuan.
Intinya, tiap tindakan ada konsekuensi. Tindakan rasis, menyebar kebencian, posting kasar dan merendahkan yang merugikan orang lain harus dipertanggungjawabkan. Aturan internal menggunakan medsos juga sudah banyak diterapkan di berbagai perusahaan global.
Kini proses seleksi pencari kerja perusahaan multinasional juga mulai menggunakan rekam jejak medsos pelamar sebagai salah satu cara menyaring kandidat. Bahkan proses
vetting visa masuk AS pun, dilakukan dengan menyortir posting media sosial aplikan!
Pendeknya, di tengah situasi sosial politik Indonesia saat ini, menetapkan acuan media sosial menjadi sangat krusial. Bukan cuma penting bagi perusahaan dan instansi negara untuk menjaga citranya. Tetapi juga tanggung jawab mereka turut menjaga republik dari ancaman konflik tak berkesudahan via media sosial.