Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengklaim hotel bintang tiga jadi segmen industri yang paling terpukul atas serbuan OTA asing seperti AirBnB cs. Alasannya, target pasar yang saling beririsan antara hotel bintang tiga ke bawah dengan AirBnB cs.
"Saya enggak bisa jawab berapa besarnya, tapi yag pasti bintang tiga ke bawah," kata Wakil Ketua PHRI Rainier H. Daulay saat ditemui dalam konferensi pers di bilangan Harmoni, Rabu (30/11).
Tak cuma itu, skema bisnis yang dijalankan AriBnB cs juga disebut PHRI membuat hotel bintang tiga kalah saing. Sebab, AirBnB berbagi keuntungan dengan pemilik properti. Sementara pihak hotel harus keluar uang cukup banyak untuk operasional mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbedaan komponen biaya tadi menyebabkan harga AirBnB bisa lebih murah ketimbang hotel bintang tiga ke bawah.
Meski demikian, Rainier mengaku sejauh ini belum ada hotel di PHRI yang kolaps akibat serbuan AirBnB. Hanya saja di luar PHRI, menurutnya sudah ada ratusan hotel di Bali, Yogyakarta, dan Bandung yang dijual ke pemilik baru akibat kalah bersaing.
Namun menurut Rainier, hal ini tak terjadi pada hotel bintang empat ke atas. Sebab menurutnya hotel bintang empat ke atas memiliki keunggulan dari segi layanan.
"Turis inginnya nyaman dan aman, kalau AirBnB kan seperti nginap di rumah saja, pelayanannya ya sama aja," tuturnya.
Rainier berkata hotel-hotel yang tergabung dalam PHRI berusaha sekuat mungkin tidak menurunkan harga. Sebab sekali harga turun, mereka akan sulit menaikkannya kembali.
Mengenai tingkat okupansi hotel, PHRI mengaku tak punya data pastinya. Namun mereka berani mengklaim ada penurunan okpuansi yang terjadi.
Padahal merujuk pada data Kementerian Pariwisata pada September 2017 menunjukkan tingkat keterisian atau okupansi hotel meningkat di Indonesia mencapai 50,42 persen atau naik 4,26 persen dari bulan sebelumnya.
Namun bila menilik data dari Indonesia Hotel Watch 2016, memang sempat terjadi penurunan okupansi hotel. Tapi, penurunan terjadi pada 2015 dengan tingkat okupansi 61,5 persen, ketimbang tahun sebelumnya yang mencapai 67,5 persen.
Sementara itu, Anton Thedy selaku pemilik TX Travel berpendapat OTA tidak serta-merta mematikan industri hotel dan agen perjalanan dalam negeri. Ia pun mengusulkan untuk mengakali keberadaan AirBnB, pemerintah bisa meniru regulasi di negara tetangga.
"Di sana untuk menyewa properti lewat AirBnB diwajibkan waktu menginap minimal lima hari," ujar Thedy. Hal itu dilakukan guna menghindari kerugian bagi industri hotel.
(eks/eks)