Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (
Kominfo) pada Selasa lalu (3/7) memblokir delapan Domain Name System (DNS) aplikasi pembuat video pendek
Tik Tok. Kominfo memblokir aplikasi asal China ini karena dinilai memiliki konten negatif khususnya bagi anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Perwakilan Tik Tok pun menyambangi Kominfo pada Rabu kemarin (4/7) untuk melakukan pertemuan dengan Kominfo.
Seusai pertemuan itu, Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan bahwa perwakilan Tik Tok ini mengakui terdapat konten negatif dalam aplikasinya. Rudiantara menjelaskan bahwa Kominfo tidak ingin memblokir Tik Tok secara permanen atau
take down. Oleh karena itu Kominfo memberi tiga syarat.
Syarat pertama adalah Tik Tok harus membersihkan aplikasinya dari konten negatif yang sudah ada dan memberikan komitmen untuk terus melakukan penyaringan agar konten negatif tidak muncul. Kedua, Rudiantara meminta agar Tik Tok membua kantor perwakilan di Indonesia agar memudahkan koordinasi. Selanjutnya, Rudiantara meminta Tik Tok menaikkan batas umur minimal pengguna menjadi 16 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila tiga syarat ini bisa membuat para pengguna Tik Tok bisa kembali bergoyang jari atau tidak harus melihat ketenaran Bowo Alpenliebe punah. Praktisi Media Sosial Nukman Luthfie mengatakan pemblokiran sementara ini bagus untuk jangka pendek. Pasalnya pemerintah dan Tik Tok dalam pemblokiran sementara ini bisa melakukan dialog agar bisa menghadirkan aplikasi yang baik bagi masyarakat.
Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa masyarakat bisa teredukasi dengan adanya aplikasi yang tren baru-baru ini. Ia menilai bahwa banyak netizen juga setuju dengan pemblokiran sementara ini.
"Kalau diblokir atau
take down selamanya ya saya tidak setuju juga. Kalau Tik Tok sudah melakukan apa yang pemerintah mau ya di buka saja," kata Nukman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).
Nukman mengatakan Indonesia harus selalu tegas dalam mengendalikan perkembangan media sosial yang tidak hanya membawa efek positif tapi juga membawa efek negatif. Jangan sampai platform media sosial seolah tidak peduli dengan keberadaan efek negatif sementara mereka mengeruk keuntungan dengan banyaknya jumlah pengguna di Indonesia
"Kita jangan sampai jadi negara yang menjadi tempat konsumen mereka. Tapi mereka tidak mau tanggung jawab apa apa. Platformnya cuek saja padahal mereka mendapatkan keuntungan ekonomi yang luar biasa besar," ujar Nukman.
Senada dengan Nukman, Pengamat Media Sosial dari Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Septiaji Eko Nugroho mengatakan pemblokiran ini bukan merupakan jawaban jangka panjang untuk menghindari konten negatif. Septiaji mengatakan blokir yang dilakukan oleh Kominfo bisa dipahami sebagai tindakan preventif karena respon minim dari Tik Tok soal konten negatif.
"Setahu kami, sudah ada banyak laporan dari masyarakat terkait aplikasi Tik Tok ini, khususnya terkait adanya konten negatif yang ada disana. Dan ketika belum ada respons yang mencukupi dari pengelola Platform, langkah preventif yang diambil Kominfo bisa dipahami," kata Septiaji,
Septiaji mengatakan pemblokiran ini perlu digunakan untuk memaksa agar perwakilan Tik Tok bisa datang ke Indonesia untuk bertemu mengenai konten negatif. Menurut Septiaji, Tik Tok harus menyadari bahwa mereka juga bertanggung jawab dengan segala konten yang ada di dalam aplikasinya.
"Platform untuk juga ikut bertanggung jawab terhadap konten yang mengalir di dalamnya, tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di Indonesia," ucap Septiaji.
Septiaji menjelaskan secara ideal komunikasi yang baik antara pemerintah dan platform dibutuhkan karena kontennya diciptakan oleh pengguna aplikasi, bukan aplikasi yang membuat konten itu. Namun Septiaji menegaskan konten itu juga merupakan tanggung jawab dari Tik Tok. Kendalanya, komunikasi untuk berkoordinasi ini sangat minim karena Tik Tok tidak memiliki kantor di Indonesia.
"Untuk konten yang jelas bertentangan dengan norma dan Undang-undang, tentu bisa langsung blokir sesudah melalui sidang panel lintas instansi yang saat ini sudah ada di Kominfo. Namun kendala nya memang tidak semua pengelola platform memiliki representasi yang cukup di Indonesia, sehingga tidak semua bisa responsif," kata Septiaji.
Terkait syarat Kominfo mengenai perubahan batas umur pengguna dari 12 tahun menjadi 16 tahun, Septiaji mengatakan pada pada dasarnya penggunaan media sosial di dunia itu memang 13 tahun. Kendati demikian hal ini memang sering tidak dibarengi dengan pengawasan orang tua yang membiarkan anak-anaknya terlalu bebas menggunakan ponsel pintar.
"Sebenarnya banyak platform medsos yang minimal penggunanya 13 tahun. Namun banyak keluarga yang lalai dan membiarkan anaknya yang dibawah itu menggunakan smartphone sekaligus medsos," ujar Septiaji.
Khusus untuk aplikasi video Tik Tok, Septiaji mengakui bahwa konten aplikasi yang berupa video Tik Tok tidak cocok dengan anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Bukan berarti semua aplikasi di ponsel pintar tidak cocok untuk anak-anak ini, masih banyak aplikasi yang ramah anak-anak dengan pendampingan orang tua.
"Ibarat kata kalau game atau film itu ada ratingnya. Tik Tok tidak cocok untuk anak-anak," kata Septiaji.
Sependapat dengan Septiaji, Nukman mengatakan aplikasi Tik-Tok memiliki konten dewasa. Ia mengkhawatirkan anak-anak bisa terpapar dengan konten ini.
Literasi digitalKendati demikian, Septiaji mengatakan pemblokiran ini mudah ditembus dengan aplikasi Virtual Private Network (VPN). Aplikasi ini dengan mudah bisa diunduh dan digunakan. Dengan sekali klik, pengguna mendapatkan alamat IP palsu dari negara lain, sehingga bisa melewati Blokir karena sistem membaca pengguna bukan berasal dari Indonesia.
"Namun kita juga paham, pemblokiran yang sekarang dilakukan masih sangat mudah dilewati dengan menggunakan proxy atau VPN," kata Septiaji.
Ia kemudian menjelaskan jalan keluar untuk jangka panjang adalah memperkuat literasi digital khususnya di lingkup keluarga. Kominfo sesungguhnya sudah memiliki program bersama dengan instansi kemasyarakatan dan pendidikan yang bernama Siberkreasi. Program ini memiliki situs siberkreasi.id, isinya adalah tentang program untuk memelekkan mata masyarakat tentang digital.
Materi-materi yang bisa digunakan oleh orang tua untuk mengedukasi anak soal digital juga bisa diakses di situs literasidigital.id. Septiaji mengingatkan tugas edukasi ini tidak cukup dari pemerintah saja tetapi masyarakat khususnya lingkup keluarga harus aktif melakukan edukasi literasi.
"Sehingga solusi yang ideal, bukan berkutat di masalah pemblokiran, tetapi upaya memperkuat Edukasi, khususnya dari level keluarga. Ini adalah Gerakan Nasional Literasi Digital. Dimana ada sekitar 60 lebih kelompok masyarakat dan instansi pemerintah bergabung. Di bawah Dirjen Aplikasi Informatika," kata Septiaji.
(eks)