Jakarta, CNN Indonesia --
Facebook telah menghentikan kerja samanya dengan perusahaan analisis data Crimson Hexagon karena khawatir perusahaan tersebut memiliki hubungan dengan pemerintah Amerika Serikat, Rusia, dan Turki.
Perusahaan yang berbasis di Boston, AS tersebut mengklaim telah mengumpulkan lebih dari satu triliun unit data tentang pengguna sosial media dari situs-situs seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Facebook khawatir bahwa data tersebut dipakai untuk tujuan pengamatan perilaku penggunanya.
Saat ini Facebook sudah mencabut akses Crimson Hexagon terhadap data pengguna Facebook dan Instagram. Dikutip dari Betanews, Facebook juga mempertanyakan kontrak yang berlaku antara perusahaan tersebut dengan pemerintah AS dan Turki, serta hubungan Crimson Hexagon dengan sebuah perusahaan lain yang terkait dengan pemerintah Rusia.
Facebook mengatakan pihaknya sedang menyelidiki apakah kerja sama Crimson Hexagon dengan pihak-pihak tersebut melanggar kebijakan Facebook terkait pengamatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak mengizinkan mereka untuk melakukan pengamatan menggunakan informasi dari Facebook ataupun Instagram. Kami menganggap dugaan ini sebagai sesuatu yang serius, dan kami sudah memutus akses terhadap aplikasi-aplikasi ini sembari melakukan penyelidikan," ujar seorang juru bicara Facebook dalam sebuah pernyataan, dilansir dari The Inquirer.
Sejauh ini, Facebook menyatakan Crimson Hexagon belum terbukti mengambil dan menyalahgunakan informasi dari Facebook maupun Instagram.
Di sisi lain, Chief Technology Officer (CTO) Crimson Hexagon Chris Bingham mengklaim bahwa perusahaannya hanya mengumpulkan data yang bersifat publik di media sosial. Ia pun menyebut pihaknya tidak seperti perusahaan Cambridge Analytica yang mengambil data yang bersifat pribadi.
"Apa yang dilakukan oleh Cambridge Analytica jelas ilegal, tetapi mengumpulkan data yang bersifat publik adalah legal dan diizinkan oleh para penyedia data yang berhubungan dengan Crimson, termasuk di antaranya Facebook dan Twitter," tuturnya dalam sebuah postingan blog.
Sebelumnya, Facebook terjerat kasus kebocoran data yang melibatkan perusahaan analisis Cambridge Analytica. Dalam kasus tersebut, data 87 juta pengguna Facebook dimanfaatkan untuk pemenangan kampanye presiden AS Donald Trump.
(age)