Jakarta, CNN Indonesia -- Raksasa internet
Facebook mengakui bahwa pihaknya lamban dalam menangani ujaran kebencian yang berkobar di Myanmar. Pengakuan ini disampaikan oleh Facebook setelah laporan investigasi dari
Reuters muncul ke publik.
Myanmar merupakan tempat paling 'berdarah' akibat ujaran kebencian yang menggila di Facebook. Ujaran kebencian di sana menjadi faktor pendukung terjadinya pembantaian etnis Rohingya.
"Kekerasan etnis di Myanmar mengerikan dan kami terlampau lambat untuk mencegah misinformasi dan ujaran kebencian di Facebook," demikian bunyi pernyataan resmi Facebook seperti dilansir dari
Reuters, Kamis (16/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan
Reuters menyebutkan sejumlah peneliti dan kelompok pejuang hak asasi manusia (HAM) telah memberi peringatan perusahaan buatan Mark Zuckerberg itu bahwa
platform mereka dipakai untuk menyebar misinformasi dan ujaran kebencian terhadap Muslim di Rohingya sejak 2013.
Hingga jumlah pengguna Facebook di Myanmar mencapai 18 juta, respons mereka tetap lambat. Laporan
Reuters ini menemukan sejumlah kejanggalan Facebook dalam upayanya memerangi ujaran kebencian di Myanmar.
Pertama adalah sistem pelaporan yang mengandalkan inisiatif pengguna memakai bahasa Inggris. Padahal mayoritas pengguna di sana menggunakan bahasa Myanmar.
Masalah berikutnya adalah Facebook tak memiliki satu pun karyawan di Myanmar meski punya 18 juta pengguna. Mereka mengawasi konten melalui jasa pihak ketiga bernama The Honey Badger yang bermarkas di Kuala Lumpur. Cuma ada 60 orang di dalam tim pengawas tersebut.
Bagi sebagian besar penduduk Myanmar, Facebook adalah internet. Dari
platform tersebut mereka mengakses informasi, hiburan, dan beragam konten lainnya.
Tepat 12 jam setelah laporan
Reuters itu muncul ke publik, Facebook mengumumkan di semester kedua tahun ini mereka bertindak proaktif untuk mengidentifikasi 52 persen konten ujaran kebencian yang sudah dihapus di Myanmar.
Mereka juga berniat menambah 40 pakar bahasa Myanmar dari 60 orang yang sudah ada sebelumnya.
"Kami punya tanggung jawab melawan penyalahgunaan produk kami. Terutama di negara-negara seperti Myanmar di mana banyak orang menggunakan internet untuk pertama kalinya, dan Facebook dipakai untuk menyebar kebencian dan kekerasan," ujar juru bicara Facebook.
(reuters/evn)