Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami
BMKG Dr. Daryono M.Si menyebut tidak ada satupun lembaga resmi dan pakar yang kredibel dan diakui mampu memprediksi
gempa. Menurutnya, prediksi terhadap gempa baru berhasil terprediksi satu kali pada tahun 1975.
"Pakar gempa dunia pun sepakat bahwa gempa memang belum dapat diprediksi dengan akurat kapan dimana dan berapa magnitudonya," jelas Daryono dalam keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (24/8).
Saat itu, para ahli di China berhasil memprediksi gempa di Haicheng, China, yang berkekuatan magnitudo 7,5 skala richter (SR) yang terjadi pada 4 Februari 1975.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prediksi ini telah dilakukan sejak pertengahan Desember 1974. Atas prediksi ini, Cina sukses mengevakuasi penduduk kota Haicheng beberapa jam sebelum gempa bumi terjadi.
Sekitar 90.000 orang penduduk terselamatkan karena telah dievakuasi sebelum kejadian. Sementara 90 persen bangunan kota hancur akibat gempa.
Tapi, ketepatan prediksi tersebut ternyata tak bisa terulang. Sebab, ketika metode yang sama dilakukan dikemudian hari, terbukti tak lagi mampu memprediksi gempa. Bahkan ketika didukung dengan teknologi yang lebih canggih sekalipun.
Sederet peristiwa gempa besar merusak dan mematikan terus mendera China dan mengakibatkan ratusan hingga ribuan korban tewas.
Beberapa metode yang biasa digunakan untuk memprediksi gempa diantaranya, pengukuran precursor gempa, hingga bpengamatan tingkah laku binatang.
Jepang dan ASJepang juga menjadi negara paling getol dalam kajian prediksi gempa tetapi ternyata gempa-gempa besar terus terjadi tanpa mau memberi tahu dan tanpa permisi.
Bahkan gempa dahsyat yang memicu tsunami Tohuku 2011 yang menelan korban puluhan ribu orang, menjadi catatan penting bahwa prediksi yang mereka lakukan ternyata meleset.
Amerika Serikat (AS) tidak kalah hebat dalam riset prediksi gempa. Mega proyek prediksi di sesar besar San Andras untuk menjawab kapan "The Big One" terjadi, ternyata juga tak memberi hasil memuaskan.
Saat ini, jalur sesar San Andreas ini terus dimonitor dinamikanya dengan GPS. Alat pengukur regangan strainmeter dan tiltmeter juga dipasang di beberapa lokasi jalur sesar.
Monitoring gas radon dan perubahan suhu juga dilakukan, tetapi tetap saja belum ada hasil seperti yang diharapkan. Akhirnya, banyak ahli gempa yang menyerah dengan riset prediksi gempa.
Konon hingga kini hanya China yang masih bersemangat meneruskan riset prediksi gempa. Jepang dan USA kini lebih tertarik mengalokasikan anggaran dana untuk mitigasi gempa, seperti penguatan struktur bangunan dan masyarakat di kawasan berisiko. Meski demikian kajian prediksi tetap dilakukan tetapi bukan lagi menjadi prioritas mereka.
(eks)