Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) disebut tidak melibatkan pengusaha lokal yang selama ini bermain di
data center dan bisnis turunannya seperti
cloud computing, hosting, dalam pembahasan draft revisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
"Saya sudah konfirmasi ke seluruh anggota IDPRO, kami memang belum pernah dilibatkan dalam pembahasan Perubahan PP 82/2012," tegas Ketua Umum Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) Kalamullah Ramli dalam keterangan resmi, Senin (29/10).
Mengacu pada pasal 96 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011, masyarakat, baik orang perseorangan atau kelompok yang berkepentingan atas substansi seperti ormas, kelompok profesi, serta LSM diberi hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu yang menjadi poin dari draft itu adalah rencana mengubah Pasal 17 yang menyatakan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, pelindungan dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto juga mengatakan anggotanya tak dilibatkan dalam pembahasan revisi PP 82. Bahkan ia mengakui sudah memberi surat tanggapan terhadap draft pada 7 Mei 2018, namun tidak ada respona dari Ditjen Aplikasi Informatika.
"Tak ada anggota kami yang dilibatkan. ACCI tahu ada rencana perubahan ini per bulan April 2018 dan mendapatkannya sudah berupa draft di akhir April 2018," ujar Alex.
Alex mengakui memang setelah tanggapan itu, ACCI memang diajak dalam beberapa kegiatan sosialisasi. Akan tetapi permintaan Alex mengatakan permintaan ACCI tidak jelas apakah diakomodir atau tidak. ACCI meminta penempatan data klasifikasi tinggi wajib di wilayah Indonesia tapi bisa mempunyai duplikasi di luar wilayah Indonesia.
"Beberapa hari lalu kami minta draft versi terakhir juga belum dikasih lagi. Ini kami ingin tahu apakah ada perbedaan antara sebelum dan setelah tanggapan kami," keluhnya.
Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Henri Kasyfi Soemartono menegaskan pihaknya meminta adanya lokalisasi data secara menyeluruh di Indonesia.
"Jadi sebenarnya pertanyaannya, apakah PP82 ini perlu di revisi atau hanya kita perjelas saja perbedaan "Wajib Lokalisasi Data" dengan "Wajib menggunakan Data Center Lokal". Karena yang sebenarnya kita targetkan adalah Lokalisasi Data," tukasnya.
Sementara itu,Ketua Umum Asosiasi Big Data & AI (ABDI) Rudi Rusdiah terdapat dua hal penting dalam Data Governance (Tata Kelola) yang harus diperhatikan.
Pertama adalah kedaulatan data (lokalisasi) terutama data masyarakat dan transaksi di NKRI di mana akuntabilitas terhadap data oleh penegak hukum dan pelaku usaha serta regulator akan lebih besar jika data utama berada di data center Indonesia.
Kedua adalah dengan data utama berada di data center berlokasi di Indonesia maka perlindungan data masyarakat, konsumen dan institusi maka akan lebih aman. Jika sifat data terkait infrastruktur kritis dan data strategis maka data sekunder (backupnya) pun harus ada di data center di wilayah Indonesia.
Rudi mengatakan hal ini akan meningkatkan bisnis pc server, power energi UPS, network security, bandwidth, dan Sumber Daya Manusia. PDB RI dianggap juga akan bertambah besar dan mengurangi defisit transaksi berjalan karena ada komponen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) lebih besar.
(jnp/evn)