Jakarta, CNN Indonesia -- Senin pagi (19/11), warga setempat dikagetkan dengan sesosok bangkai
paus sepanjang 9,5 meter di perairan Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sosok raga ini ternyata adalah seekor ikan paus. Ketika ditemukan,
paus sudah dalam kondisi tak bernyawa.
Warga setempat menemukan dan melihat jasad paus yang berpotensi menghasilkan uang lewat minyaknya. Tak menunggu lama, warga kemudian sibuk menyayat beberapa bagian paus untuk diambil minyaknya.
Saat ditemukan oleh peneliti, paus yang mati setelah memakan 5,9 kilogram sampah dalam kondisi yang sudah tidak utuh dengan perut mulai membusuk. Ketika dibelah, peneliti menemukan tumpukan sampah ribuan tali rafia, ratusan gelas plastik, hingga sandal jepit, dan sampah plastik lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan hasil identifikasi, yang dilakukan Akademi Komunitas Perikanan dan Kelautan Wakatobi, sampah di dalam perut paus terdiri atas sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3.260 gram (lebih dari 1000 potong).
Kendati demikian, Koordinator Komunikasi Marine dan Fisehries World Wildlife Fund (WWF) Indonesia Dwi Aryo menjelaskan sampah diduga jadi pelaku utama kematian paus. Kendati hal ini belum dapat disebut sebagai faktor utama, Aryo mengatakan para ahli akan melakukan nekropsi atau autopsi lantaran kondisi paus yang kian membusuk. Dapat dikatakan hingga kini penyebab kematian paus masih misterius.
"Pada saat itu tidak sempat dilakukan nekropsi, otopsi pada hewan itu bisa menentukan penyebab kematian. Ahli kami hanya bisa analisa dari foto yang dikirimkan dari tim lapangan. di dalam foto itu tidak jelas sebaran plastik di dalam saluran pencernaan paus," kata Aryo kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (21/11).
 Paus terdampar dengan kondisi perut dipenuhi sampah plastik. (Foto: Thailand's Department of Marine and Coastal Resources/Social Media/via REUTERS) |
Aryo mengatakan nekropsi bisa mengungkap penyebab kematian paus. Pasalnya apabila hanya berdasarkan foto-foto dari tim lapangan, para ahli tidak dapat melihat apakah sampah plastik tersebut menyumbat saluran pencernaan atau tidak.
"Paus sudah mati dan membusuk level 4. Level 1 dan 2 itu segar masih bisa otopsi atau sampel. Masuk ke level 3 dan level 4 itu membusuk dan tidak utuh. Ketika itu tindakan yang harus dilakukan adalah penguburan atau pemusnahan bangkai," ujarnya.
Para ahli tidak bisa melakukan nekropsis karena kondisi bangkai paus sudah membusuk dan tidak utuh karena mulai terurai. Untuk menentukan penyebab kematian, peneliti membutuhkan jasad yang masih segar sehingga bisa menentukan penyebab paus ini mati.
"Ketika kondisi baru saja mati, jadi bisa ketahuan organ mana yang menyebabkan kematian. Apabila ada infeksi atau penyumbatan tertentu bisa terlihat kalau dalam keadaan organ masih segar. Akan tetapi kalau busuk, sudah tidak kelihatan," kata Aryo.
Secara alamiah, paus sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengeluarkan benda asing yang tertelan. Hanya saja, proses alamiah ini bisa terjadi jika saluran pencernaan tidak tersumbat.
"Secara ilmiah makhluk hidup ketika menelan atau konsumsi benda asing ke dalam tubuhnya secara alami bisa mengeluarkan benda tersebut. Apabila dalam kadar dan jumlah relatif sedikit," jelasnya.
Aryo menjelaskan paus sebenarnya memang rentan menelan sampah plastik. Hal itu lantaran mamalia air ini kerap kesulitan membedakan antara makanan dengan sampah plastik. Oleh karena itu, kelihatannya paus tidak bisa berhenti mengonsumsi sampah plastik.
"Biasanya plastik dianggap makanan, jadi langsung ditelan. Beberapa tempat bahkan sempat memuntahkan sampah plastik," ucapnya.
Lebih jauh, Aryo mengatakan pihaknya belum mengetahui apakah paus mati setelah atau sebelum terdampak. Apabila mati setelah terdampak, maka penyebabnya bisa disebabkan karena disorientasi sistem navigasi.
"Banyak kejadian paus terdampar karena disorientasi yang dikarenakan adanya aktivitas seismik atau penggunaan sonar. Ini bisa terjadi secara alami atau terjadi apabila penggunaan peralatan yang bisa menggunakan sonar. Itu mengganggu navigasi mereka dan terdampar," jelasnya.
 Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen |
Situasi MemprihatinkanDi luar misteri penyebab kematian yang masih belum jelas, temuan sampah plasti di dalam perut paus sangat memprihatinkan. Aryo menjelaskan permasalahan polusi plastik merupakan masalah global.
Karakteristik paus sebagai hewan yang 'hobi' berjalan-jalan mengitari dunia untuk bermigrasi sangat rentan dengan permasalahan polusi plastik di dunia. Oleh karena itu, Indonesia diminta mengambil langkah untuk menanggulangi masalah pencemaran plastik.
"Sangat memprihatinkan, pada tahun 2015 data Jambeck Indonesia adalah kontributor penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia dengan hampir 187,2 juta ton per tahunnya," jelasnya.
Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah China yang mencapai 262,9 juta ton.
Sementara Filipina berada di urutan ketiga penghasil sampah plastik ke laut mencapai 83,4 juta ton, diikuti Vietnam sebanyak 55,9 juta ton, dan Sri Lanka dengan 14,6 juta ton per tahun.