Rahaja mengatakan serangan-serangan muslihat ini wajar terjadi asal tidak menggunakan konten hoaks dan kampanye hitam. Rahaja mengatakan memiliki peraturan agar tidak menggunakan berita hoaks ketika membuat sebuah konten.
Rahaja mengklaim membuat konten-konten ini berdasarkan sumber yang kredibel dari media arus utama.
"Semua kerjaannya mau menyerang A,B,C,D baik-baik saja selama itu tidak kampanye hitam. Misalnya dia menyebar berita hoaks. Artikel atau cuitan yang saya bikin itu ada beritanya dari sumber-sumber kredibel," kata Rahaja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Rahaja mengakui ia menggunakan persepsi-persepsi dari berita kredibel tersebut untuk mendukung isu yang akan ia mainkan.
"Tapi kesimpulannya macam-macam dong ketika membaca berita itu. Bisa saja saya menyimpulkannya macam-macam. Intinya beritanya ya itu. Akan tetapi banyak juga
buzzer yang termakan hoaks. Biasanya dia fanatik, dia lupa cek kredibiltas dan akhirnya hoaks," kata Rahaja.
Ia kemudian memberi tahu bahwa konten-konten yang melibatkan konflik sangat disukai warganet. Warganet Indonesia sangat menyukai perdebatan kusir di media sosial. Justru konten-konten serius seperti visi dan misi kurang diminati warganet.
"Konflik konten jadi bagus. Misalnya saat debat pilkada perhatikan saja konflik daripada visi dan misi. Konteks utama yang paslon bawakan hilang dan konflik sangat laku," kata Rahaja.
Rahaja mengatakan mudah untuk memancing sebuah perdebatan di media sosial untuk menaikkan sebuah isu. Pasalnya warganet ini merasa sangat mudah untuk memaparkan informasi. Pemaparan informasi ini tentu didasari berdasarkan informasi yang terpapar di media sosial
"Dia merasa bisa merespon informasi dengan cepat. akhirnya ya saling adu komentar. Ditambah lagi ada bisnis buzzer ini, orang jadi gampang terpapar informasi dan dia merasa bisa memaparkan informasi," ujar Rahaja.
Efek yang DihasilkanDalam kesempatan yang berbeda, Peneliti CIPG Rinaldi Camil mengungkapkan pesan yang disampaikan
buzzer memang tergantung dari
framing pesan yang dibangun hingga jaringannya dibaliknya.
"Beberapa
influencer punya jaringan yang terhubung dengan influencer lainnya. Yang dipandang sebagai
influencer senior tentu memberikan efek berbeda," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.
Rinaldi tidak bisa menjelaskan pergerakan
buzzer dari skala industri. Namun, pasar media sosial di Indonesia sangat besar dan memiliki korelasi politik dengan
marketing.
"Yang satu konstituen, yang satu memiliki pasar," tambahnya.
Rinaldi menjelaskan konten
buzzer dari sisi akuntabilitas juga rendah. Praktik-praktik yang ada sering tak mengindahkan verifikasi.
"Mungkin memang ada kebutuhan seperti itu karena praktek yang ada di politik itu kotor," ungkap Rinaldi.
Penggunaan media sosial pun digunakan oleh para calon presiden dalam Pemilu 2019 mendatang.
Dikutip dari situs KPU, tim Jokowi-Ma'ruf mendaftarkan empat akun media sosial di Facebook, Instagram, Twitter dan Youtube. Paslon nomor urut 01 itu tidak mendaftarkan akun pribadi Jokowi dan Ma'ruf.
Berbeda dengan Jokowi-Ma'ruf, paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi melaporkan akun pribadi masing-masing. Akan tetapi paslon nomor urut 02 ini tidak mendaftarkan akun pasangan calon. Akun yang dilaporkan terdapat di Facebook, Instagram, Twitter, namun tidak ada akun Youtube yang dilaporkan.
(age/age)