Kerentanan hutan lindung ini menurut Pradarma juga akan berkaitan dengan persediaan air di wilayah itu. Ia khawatir jika hutan lindung Bukit Suharto dan hutan lindung Wain tidak dijaga maka akan mengganggu persediaan air tanah.
"Orang sana saat ini mesti ambil air dari air tanah dan waduk. Sementara kapasitas waduk (Manggar) tidak bisa memenuhi kebutuhan air rakyat saat ini," tuturnya.
Ia lantas mengambil contoh warga Balikpapan yang saat ini kesulitan untuk mendapat air bersih. Sebab, menurutnya distribusi air bersih tidak merata.
 Peta Kalimantan Timur. Warna biru menunjukkan lokasi ibu kota baru yang ada di Kecamatan Sepaku dan Samboja. Wilayah ini dikelilingi hutan lindung Sungai Manggar dan Wain di selatan. Sementara di utara ada hutan Bukit Soeharto. Ketiga hutan ini berperan menjaga ketersediaan air. Apalagi jarak kedua lokasi dari sungai Mahakam pun cukup jauh. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, hal ini menurutnya bukan karena kendala infrastruktur. Tapi karena memang persediaan air yang terbatas. Sebab, selama ini warga mengandalkan air dari air tanah, waduk, dan air sungai.
"Untuk urusan air, jika 1,5 juta penduduk di mobilisasi gimana pemenuhan airnya? [...] Kita khawatirkan akan berdampak ke pemenuhan air di dua kota dan dua kabupaten," tuturnya.
Pemerintah juga mesti berhadapan dengan masalah banjir. Sebab, pada 2019 lalu kecamatan Semboja sempat terkena banjir.
Tambang kerap makan korbanLebih lanjut kata Zenzi, jika konsesi atau izin pertambangan batu bara ditambah maka masyarakat akan dirugikan karena lubang-lubang tambang akan muncul kian masif. Sebab, tak jarang konsensi ini memakan korban.
Berdasarkan data Jatam, lubang tambang di Kaltim kembali merenggut nyawa. Seorang warga di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang akan menjadi wilayah ibukota tewas di lubang tambang. Hendrik Kristiawan (25) warga Desa Beringin Agung, adalah korban ke-36 yang tewas di tambang sejak 2011.
"Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai Presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya," pungkas Zenzi.
Lubang tambang kerap memakan korban karena tidak ada papan peringatan, pembatas, dan pengawasan di kawasan tambang. Ditambah lagi menurut Walhi belum adanya penegakan hukum yang jelas bagi para pemilik eks konsesi.
Sumber energiSumber energi untuk pembangkit listril ibu kota baru ini juga menjadi persoalan lain yang patut dipikirkan. Greenpeace menyebut jika pemerintah tetap mengandalkan batu bara dan terus membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di beberapa lokasi di Kalimantan Timur, maka akan memperburuk kondisi polusi udara di wilayah itu.
"Kita bisa lihat fakta bahwa polusi udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi, juga bersumber dari banyaknya PLTU batu bara yang ada di sekeliling Jakarta. Jika nanti sumber energi ibu kota baru masih mengandalkan batu bara seperti saat ini di Jakarta, maka jangan harap ibu kota baru akan bebas dari polusi udara," tulis Kepala Greenpeace Indonesia Leonardo Simanjuntak melalui keterangan resmi, Selasa (27/8).
Oleh sebab itu kata Leonard, pihaknya menghimbau kepada pemerintah untuk menyiapkan energi terbarukan untuk calon ibu kota baru. Ia juga mengimbau pemerintah menghentikan pembangunan PLTU.
Keberadaan tambang-tambang batu bara itu menurut Greenpeace selain menghasilkan polusi udara, bisa menimbulkan sejumlah bencana lingkungan seperti banjir dan kekeringan.
Kekhawatiran serupa juga diungkap Kooridnator JATAM, Merah Johansyah. Menurutnya, pemerintah akan menggunakan sumber energi dari batu bara untuk ibu kota baru itu.
"Ada jaminan
engga energi di ibu kota baru ini ramah lingkungan? Pasti dia bongkar batu bara," tuturnya ketika dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (29/8).
Ia meyakini jika sumber energi kurang, maka pemerintah akan membuka lagi tambang batu bara ke hulu Mahakam. Sehingga dikhawatirkan akan menghancurkan ekosistem.
(din/eks)