Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis
startup teknologi tengah menjadi tren. Banyak perusahaan teknologi yang dahulunya merupakan startup dan kini banyak digunakan masyarakat di Indonesia, seperti
Grab, Gojek, Tokopedia,
Traveloka.
Meski punya banyak pengguna, namun perusahaan-perusahaan yang populer digunakan ini belum tentu sudah menghasilkan keuntungan. Berbeda dengan perusahaan tradisional yang langsung menghasilkan keuntungan di hari pertama mereka memulai bisnis.
Sebagai contoh Google, perusahaan berusia 21 tahun itu hanya butuh 3 tahun untuk mendapat keuntungan pertama mereka. Sementara Amazon baru mendapat keuntungan setelah 9 tahun. Amazon sendiri dimulai dari Bezos yang berjualan buku pada 1994.
Pada 1997, perusahaan ini memutuskan untuk menjual saham perdana ke publik (IPO). Ketika memutuskan untuk IPO apakah Amazon sudah mendapat untung? Tidak.
Meski telah mendapat pemasukan sebesar US$1,6 miliar (sekitar Rp22,4 triliun; US$1=Rp
14,039.20) pada 1999, namun Amazon tetap harus menenggak rugi US$719 juta (Rp1 triliun). Bezos juga sempat merumahkan sepertujuh karyawan dan menutup sejumlah pusat distribusi mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru pada 2003, Amazon mendapat keuntungan pertama mereka. Meski sudah untung, pada 2011 dan 2013 Amazon sempat membukukan kerugian. Keadaan berbalik signifikan pada 2015.
Mengapa investor rela bakar uang?
Sebagian besar dari perusahaan teknologi pemula itu berakhir gagal. Menurut pengajar senior di Harvard Business School, Shikhar Ghosh, 75 persen
startup yang telah didanai pemodal ventura gagal.
Dengan tingginya tingkat kegagalan perusahaan
startup teknologi ini, maka bagaimana dengan tingkat kerugian investor? Mengapa pula mereka rela memberi investasi gila-gilaan bagi mereka?
Halaman berikutnya, alasan invesasi ke startup teknologi tetap melimpah meski perusahaan itu kerap gagal dan gulung tikar >>>
Nobel menjelaskan dalam bukunya '
Why Companies Fail and How' (Mengapa dan Bagaimana Perusahaan Bisa Gagal).
- Sebanyak 30-40 persen investor kehilangan sebagian atau seluruh investasi mereka.
- 30-40 persen investor mengalami tingkat pengembalian investasi yang tak sepadan
- 90-95 persen investor tidak mencapai target yang ditetapkan.
Meski tingkat resiko sangat tinggi, namun keuntungan yang berlipat ganda kerap menggoda para investor. Salah satu contoh seperti yang dialami oleh Peter Thiel. Thiel adalah salah satu investor Facebook. Nilai investasinya melonjak 2.300 kali dari nilai IPO pertama Facebook, seperti dikutip Inc.
Berdasarkan data Thompson Reuters Venture Capital Index pada 2012, tingkat pengembalian modal ketika berinvestasi di
startup lebih tinggi ketimbang investasi dengan membeli saham. Investasi di
startup berpotensi mengembalikan uang investasi 19,7 persen. Sementara tingkat pengembalian modal di pasar modal dan saham hanya 7,5 hingga 5,9 persen.
Selain itu, mereka juga bertaruh besar agar startup yang mereka suntik bisa menjadi penguasa pasar mayoritas, seperti ditulis
The Conversation. Ketika ini terjadi berlaku istilah
winners takes all (pemenang mengambil segalanya), seperti yang terjadi pada Google dan Facebook.
Selain masalah hitung-hitungan uang, ada hal-hal intrinsik lain yang menjadi motivasi investor berinvestasi. Misal, karena ia memang menyukai bidang yang ia investasikan atau ingin menjadi bagian inovasi masa depan.
Alasan-alasan inilah yang membuat orang tergiur dengan investasi di perusahaan
startup yang belum menghasilkan keuntungan.
Model bisnis startup Model bisnis
startup memang berbeda dari kebanyakan bisnis konvensional. Jika bisnis konvensional sudah punya model bisnis dimana mereka bisa mendapat keuntungan dari hari pertama berjualan, maka tidak demikian dengan
startup teknologi.
Seringkali mereka memulai tanpa mendapat pemasukan sama sekali.
Startup teknologi biasanya dimulai dengan memberikan produk awal yang sekiranya bisa langsung digunakan dan diterima pasar. Sambil berjalan, mereka akan terus memperbaiki layanan.
Sebagai contoh Grab. Awalnya Grab menawarkan jasa pemesanan taksi online saja. Belakangan, layanan mereka jadi melebar ke pemesanan ojek, makanan, dan pembayaran.
Saat ini, Grab memang sudah mencetak pendapatan. Pada 2019, Grab menargetkan pendapatan US$2,8 miliar (Rp39 triliun) dari US$1 miliar (Rp14 triliun) pada 2018. Meski perusahaan itu sudah mendulang pemasukan yang besar, namun masih belum mendapat untung.
Angka-angka yang lebih fantastis ditorehkan oleh Uber. Perusahaan yang berdiri sejak 2009 ini punya nilai perusahaan besar dan sudah menjual saham ke publik. Meski demikian, ia tetap merugi.
 Uber adalah salah satu startup teknologi yang sudah melebarkan sayap diberbagai, telah mengantongi pendanaan dengan nilai fantastis, melempar saham ke pasar, tapi masih belum mendulang keuntungan. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Halaman berikutnya, investasi yang ditanam di Uber capai ratusan triliun, meski perusahaan masih tetap rugi >>> Pada kuartal dua 2019, pendapatan Uber sebesar US$3,16 miliar. Namun kerugian yang dicatat pun tak kalah besar, US$5,2 miliar. Ini adalah kerugian terbesar perusahaan tersebut, seperti ditulis
TechCrunch.
Padahal, total pendanaan yang sudah dikumpulkan perusahaan yang berdiri sejak 2009 itu sebesar US$24,7 miliar (Rp346,7 triliun) dari 22 putaran pendanaan.
Uang yang tak sedikit untuk perusahaan yang masih merugi.
Tak cuma itu, nilai valuasi perusahaan ini pun sempat turun. Pada putaran pendanaan terakhir di Januari 2018, nilai valuasi Uber turun dari US$70 miliar menjadi US$48 miliar, seperti dikutip dari
Investopedia.
Perusahaan-perusahaan ini kerap merugi lantaran mereka mencari pemasukan dan cara mendulang keuntungan sembari menjalankan bisnis. Tujuan utama mereka adalah mendapat pertumbuhan pengguna yang tinggi terlebih dulu. Soal bagaimana pendapatan dan keuntungan didapat menjadi persoalan belakangan.
Selain itu, keuntungan yang didapat pun tak bisa instan. Perusahaan harus kerap melakukan coba-coba dan menawarkan sesuatu yang tidak pernah ada di pasar sebelumnya, sehingga tingkat kegagalannya sangat tinggi.
Tabel perbedaan model bisnis pada startup teknologi dan perusahaan konvensional (dari berbagai sumber)
| Startup teknologi | Perusahaan konvensional |
Resiko | Tingkat kegagalan tinggi. Ada 1 persen kesempatan perusahaan bernilai US$100 juta (Rp1,4 triliun) dan 99 persen kesempatan bernilai 0. Sehingga rata-rata nilainya US$1 juta | Rendah. |
Model bisnis | Sambil mencari model bisnis | Sudah terbukti dari bisnis sebelumnya, sehingga tidak butuh banyak investasi dan waktu untuk memformulasikan model bisnis yang menguntungkan |
Tujuan perusahaan | Menawarkan hal yang belum umum ada di pasar, sehingga mereka butuh investasi selama mencari bisnis model dan mengumpulkan pengguna. | Mencari keuntungan dari pasar yang sudah ada |
Fokus | Pada pertumbuhan dan mendapat pengguna sebanyak-banyaknya | Mendapat keuntungan |
Pendanaan | Butuh banyak investasi. Mencari investasi sejak awal, angel investor dan VC biasanya menaruh US$1 juta pada putaran pendanaan. Sebagai gantinya, | Pada perusahaan kecil tidak menawarkan investasi, biasanya lewat pinjaman dan mesti membayar bunga. |
Kepemlilikan | Pendiri menyerahkan persentase ekuitas dari perusahaan mereka, sebagai ganti investasi yag diberikan | Kepemilikan pribadi |
Investor | Investor sebagai peminjam modal adalah partner | Hubungan dengan peminjam modal transaksional |
Profit | Lama, karena perlu banyak riset dan berganti model bisnis untuk mendapat keuntungan | Langsung menghitung keuntungan dari hari pertama |
Pertumbuhan | Cepat | Lambat |
Selain itu, jika perusahaan konvensional mencari pinjaman untuk memperbesar usaha mereka, maka
startup mengandalkan investasi. Imbasnya, kepemilikan perusahaan dibagi dengan para investor. Sementara pemilik perusahaan konvensional memiliki perusahaannya secara utuh.
Perusahaan startup teknologi juga mengincar basis pasar yang luas.
Sebab, mereka beroperasi di internet yang bisa diakses oleh siapa saja tanpa terbatas wilayah tertentu. Sementara perusahaan konvensional yang punya kehadiran fisik punya keterbatasan jangkauan pada masyarakat pada wilayah tertentu saja.
Misal, warung kopi yang hanya bisa dikunjungi mereka yang ada di kota tertentu saja. Akibat jangkauannya yang luas, perusahaan teknologi punya potensi untuk bertumbuh lebih cepat dari perusahaan konvensional.