Alasan Startup Banjir Investor Meski Belum Untung

CNN Indonesia
Senin, 07 Okt 2019 17:38 WIB
Banyak perusahaan startup yang saat ini ramai berdiri, meski mereka belum membukukan keuntungan tapi mengapa para investor rela jor-joran menyuntikkan dana?
Ilustrasi(Thinkstock/shironosov)
Nobel menjelaskan dalam bukunya 'Why Companies Fail and How' (Mengapa dan Bagaimana Perusahaan Bisa Gagal).
  • Sebanyak 30-40 persen investor kehilangan sebagian atau seluruh investasi mereka.
  • 30-40 persen investor mengalami tingkat pengembalian investasi yang tak sepadan
  • 90-95 persen investor tidak mencapai target yang ditetapkan.
Meski tingkat resiko sangat tinggi, namun keuntungan yang berlipat ganda kerap menggoda para investor. Salah satu contoh seperti yang dialami oleh Peter Thiel. Thiel adalah salah satu investor Facebook. Nilai investasinya melonjak 2.300 kali dari nilai IPO pertama Facebook, seperti dikutip Inc.

Berdasarkan data Thompson Reuters Venture Capital Index pada 2012, tingkat pengembalian modal ketika berinvestasi di startup lebih tinggi ketimbang investasi dengan membeli saham. Investasi di startup berpotensi mengembalikan uang investasi 19,7 persen. Sementara tingkat pengembalian modal di pasar modal dan saham hanya 7,5 hingga 5,9 persen.

Selain itu, mereka juga bertaruh besar agar startup yang mereka suntik bisa menjadi penguasa pasar mayoritas, seperti ditulis The Conversation. Ketika ini terjadi berlaku istilah winners takes all (pemenang mengambil segalanya), seperti yang terjadi pada Google dan Facebook. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain masalah hitung-hitungan uang, ada hal-hal intrinsik lain yang menjadi motivasi investor berinvestasi. Misal, karena ia memang menyukai bidang yang ia investasikan atau ingin menjadi bagian inovasi masa depan.

Alasan-alasan inilah yang membuat orang tergiur dengan investasi di perusahaan startup yang belum menghasilkan keuntungan.

Model bisnis startup

Model bisnis startup memang berbeda dari kebanyakan bisnis konvensional. Jika bisnis konvensional sudah punya model bisnis dimana mereka bisa mendapat keuntungan dari hari pertama berjualan, maka tidak demikian dengan startup teknologi. Seringkali mereka memulai tanpa mendapat pemasukan sama sekali.

Startup teknologi biasanya dimulai dengan memberikan produk awal yang sekiranya bisa langsung digunakan dan diterima pasar. Sambil berjalan, mereka akan terus memperbaiki layanan. Sebagai contoh Grab. Awalnya Grab menawarkan jasa pemesanan taksi online saja. Belakangan, layanan mereka jadi melebar ke pemesanan ojek, makanan, dan pembayaran. 

Saat ini, Grab memang sudah mencetak pendapatan. Pada 2019, Grab menargetkan pendapatan US$2,8 miliar (Rp39 triliun) dari US$1 miliar (Rp14 triliun) pada 2018. Meski perusahaan itu sudah mendulang pemasukan yang besar, namun masih belum mendapat untung.

Angka-angka yang lebih fantastis ditorehkan oleh Uber. Perusahaan yang berdiri sejak 2009 ini punya nilai perusahaan besar dan sudah menjual saham ke publik. Meski demikian, ia tetap merugi. 
Uber adalah salah satu startup teknologi yang sudah melebarkan sayap diberbagai, telah mengantongi pendanaan dengan nilai fantastis, melempar saham ke pasar, tapi masih belum mendulang keuntungan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Halaman berikutnya, investasi yang ditanam di Uber capai ratusan triliun, meski perusahaan masih tetap rugi >>>

Beda Model Bisnis Startup Teknologi dan Perusahaan Konvensional

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER