ANALISIS

Banjir Hoaks Corona, Ahli Bicara Motif Politik hingga Sosial

CNN Indonesia
Jumat, 13 Mar 2020 09:33 WIB
Hoaks tentang virus corona terus membanjiri internet, ahli ungkap motif dibalik penyebaran itu mulai dari politik, ekonomi, dan sosial.
Ilustrasi. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Komunikasi & Informatika (Kemenkominfo) telah mencatat 196 hoaks dan misinformasi terkait virus corona SARS-CoV-2 sejak Januari 2020. Tiap minggunya Kemenkominfo mencatat penmbahan puluhan hoaks baru yang berkaitan dengan corona.

Terbaru, hoaks menyebutkan pemeran utama film Harry Potter yaitu Daniel Radcliffe dan aktor lawas asal China, Jackie Chan positif terjangkit virus corona.

Hoaks tersebut menambah jumlah beberapa berita hoaks unik, mulai dari umat muslim kebal corona, corona disebut dalam ayat Al Quran, warga China berbondong-bondong menjadi umat muslim demi terhindar dari virus corona SARS-COV-2, hingga vodka bisa digunakan untuk campuran disinfektan.

Dugaan unsur politis

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat TIK dari CISSRec Pratama Persadha menjelaskan maraknya hoaks ini disebabkan oleh para buzzer (pendengung) yang bertujuan untuk menimbulkan kepanikan di Indonesia. Ujungnya, Pratama menduga ada unsur politis dalam merebaknya hoaks corona ini.

"Pembuat hoaks membuat keresahan di masyarakat. Ujung-ujungnya bisa jadi tujuannya politis. Agar rakyat menganggap pemerintah tidak mampu melindungi rakyatnya," ujar Pratama saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (12/3).

Pratama mengatakan pembuat konten ini dapat dipastikan dibayar dan tidak bergerak organik atau alami. Pembuat konten ini memanfaatkan histeria virus corona dengan tujuan akhir untuk mengguncang pemerintahan.

Pratama mengatakan para pembagi hoaks virus corona disebut Pratama bersifat organik. Pembagi hoaks tersebut tidak mengetahui informasi sebenarnya dan semata-mata membagikan hoaks akibat ketakutan terhadap virus corona.

"Kalau yang share hoaks mungkin karena ketidaktahuan mereka. Sebab hoaks sekarang sering dilengkapi bukti-bukti yang seolah-seolah fakta," kata Pratama.

Senada dengan Pratama, Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan salah satu motif pembuat hoaks berbau politis. Pembuat hoaks bermaksud untuk memancing kepanikan, kebencian hingga gerakan sosial dengan informasi yang tidak benar.

Wabah virus corona yang menjadi bencana ini justru ditunggangi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politis untuk menggoyang stabilitas pemerintah yang sedang berkuasa.

"Pemerintahan yang sah sedang berjalan, dapat diguncang oleh informasi semacam ini. Sehingga tak jarang pihak pihak yang hendak merebut kekuasaan, yang tak mampu diraih di kesempatan sebelumnya, memanfaatkan momentum yang hadir tak terencana," kata Firman.

Firman mengatakan hoaks memanfaatkan emosi publik yang tidak stabil sebagai buntut histeria virus corona. Buzzer memanfaatkan emosi tersebut dengan memproduksi informasi hoaks.

Emosi publik tidak stabil karena 'kecepatan' penyebaran virus corona dan mampu merenggut ribuan nyawa dalam waktu singkat. Hal ini membuat masyarakat 'memakan' seluruh informasi yang ada perihal corona.

Motif ekonomi dan sosial

Selain motif politik, terdapat motif  sosial hingga ekonomi dalam masifnya berita hoaks corona. Dari sisi sosial, Firman mengutip seorang Profesor Komunikasi Jonah Berger yang menyebut informasi itu ibarat mata uang. Ketika informasi dipertukarkan, ia akan memberikan nilai bagi pemiliknya.

Ketika informasi langka itu menyelamatkan banyak orang, penyebar informasi akan  dianggap pahlawan. Ketika informasi itu bernilai pengetahuan, maka ia akan dijuluki sebagai intelektual. Atas imbalan sosial tersebut,  tak jarang orang menyengaja memproduksi hoaks untuk kepentingan sosialnya.

"Hoaks tentang corona bisa bernilai sosial, ketika misalnya ada informasi terbaru yang dimiliki kalangan terbatas, dan informasi itu ada di tangan seseorang. Maka ketika ia menyebarkannya, penghargaan dari publik akan disematkan untuknya," kata Firman.

Dari segi ekonomi, Firman mengatakan buzzer bisa memperoleh nilai ekonomi di balik hoaks corona. Buzzer bisa menyisipkan berbagai penawaran produk dalam informasi yang belum terbukti kebenarannya.

Berbagai produk sering dikaitkan dengan pencegahan dan penyembuhan virus corona. Informasi yang menyarankan produk tersebut belum tentu valid dan seringkali produk tersebut tak masuk akal apabila dikaitkan dengan penyembuhan virus corona.

"Hoaks semacam ini, akan menyebabkan masyarakat memborong produk yg disisipkan dalam informasi yang sedang dicari orang itu. Tentu saja, produsen semacam ini akan memperoleh keuntungan ekonomi," kata Firman.

Berlawanan dengan Pratama dan Firman, seorang mantan buzzer Rahaja Baraha mengatakan penyebaran berita ini bersifat organik atau alami. Pernyataan tersebut berdasarkan argumen bahwa virus corona merupakan bencana yang membuat orang-orang panik sehingga mengambil seluruh informasi yang ada.

Bencana-bencana tersebut kebanyakan adalah bencana alam seperti letusan gunung api, tsunami, hingga gempa bumi.

"Kemungkinan untuk berbayar selalu ada, tapi untuk kasus yang bersifat bencana seperti ini biasanya organik. Hal ini serupa bisa kita rasakan semisal ada gempa dan bencana lain yang melibatkan banyak orang. Ini [hoaks] menjadi menarik ketika situasi panik dan literasi informasi digital yang kecil," kata Rahaja. 

Hoaks yang menyebar saat bencana berbeda dengan hoaks yang menyebar di masa politik. Pada masa politik buzzer bayaran memiliki misi mendorong segala wacana atau isu politik sesuai pesanan.

"Hoaks mudah menyebar dan kebanyakan hoaksnya juga tanpa tujuan mungkin bisa sekadar iseng. Beda cerita kalau pas masa politik, hoaks dibuat dan di beri modal untuk kepentingan satu dua pihak," kata Rahaja. (jnp/eks)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER