Pakar Keamanan Siber dari CISSReC, Pratama Persadha memberikan rekomendasi cara aman bermain TikTok yang disebut sebagai aplikasi mata-mata pemerintah China.
TikTok seperti halnya Huawei juga ikut terseret dalam perang dagang dan konflik Amerika Serikat - China. TikTok bahkan telah diblokir di India, AS sendiri sedang mempertimbangkan untuk memblokir TikTok meski basis pengguna TikTok di Amerika Serikat sangat besar.
Pratama menyarankan agar pengguna mengatur pengamanan pengaturan privasi lewat permission di tiap aplikasi TikTok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebanyakan pengguna meremehkan, menganggap pesan tersebut hanya informasi saja padahal sangat penting," kata Pratama dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (27/7).
Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi, yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikrofon, telepon, hingga lokasi.
Berikut cara mengatur untuk permission pada aplikasi TikTok yang juga bisa digunakan untuk aplikasi lainnya:
- Pilih Pengaturan
- Pilih App atau langsung ke aplikasi yang dituju, dalam hal ini TikTok
- Pilih App Permission
- Matikan Permission yang menurut Anda tak berhubungan dengan TikTok. Misalnya akses ke lokasi hingga kontak.
Pratama mengatakan tuduhan terhadap TikTok tidak hanya sebatas mengirimkan data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke China.
Untuk menguji adanya aliran data, CISSReC melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi TikTok. Dari hasil analisis CISSReC, tidak ada yang mencurigakan dari aliran data TikTok secara umum.
Contohnya alamat IP 161.117.197.194 yang menuju Singapura, lalu 152.199.39.42 menuju Amerika. CISSReC juga tidak mendeteksi adanya malware dalam aplikasi. Dalam pengujian malware tersebut, CISSReC menggunakan sampel virus dari 58 vendor anti virus.
"Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi. Bila memang mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tapi Google akan menghapus TikTok dari Playstore mereka. Tapi hal ini juga tidak dilakukan Google," ujar Pratama.
Lebih lanjut Pratama mengatakan yang disoroti dari TikTok di Eropa adalah pengawasan data karena dituduh digunakan sebagai spionase.
Oleh karena itu, Pratama menyarankan agar pejabat penting atau lingkungan pemerintah jangan bermain TikTok karena isu spionase tersebut.
Bila masyarakat mau memakai sebenarnya tidak ada masalah. Di sisi lain, Pratama mengatakan TikTok merupakan sebuah kanal bagi lembaga atau politikus untuk melakukan pencitraan.
Apabila TikTok digunakan sebagai alat untuk pencitraan, maka ia menyarankan agar pejabat bisa menggunakan perangkat atau ponsel khusus yang digunakan untuk mengunggah TikTok.
"Yang paling masuk akal dilakukan adalah, para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok, bila memang khawatir. Namun bila memang ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari digunakan, " kata Pratama.
Pratama mengatakan TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna. Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan untuk mata-mata.
Akan tetapi, aplikasi Pokemon Go juga sempat dicurigai merupakan aplikasi mata-mata, namun akhirnya tidak terbukti. Ia kemudian mengingatkan bahwa aplikasi Facebook, Google, hingga Instagram juga mengumpulkan data pengguna. Bahkan data tersebut disalahgunakan dalam kasus Cambridge Analytica dalam Pilpres AS 2016.
"Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dioptimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan," kata Pratama.
(eks/eks)