Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-75 pada Senin (17/8) ini. Meski telah merdeka selama 75 tahun, Indonesia saat ini masih bergulat dengan kedaulatan di sektor TIK (Teknologi, Informasi dan Komunikasi).
Pengamat TIK Hasnil Fajri mengungkap saat ini Indonesia belum berdaulat di tiga bidang itu.
"Untuk urusan sinyal telekomunikasi, internet & data center, kita belum berdaulat," kata Pengamat TIK, Hasnil Fajri kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun begitu, pemerintah Indonesia sesungguhnya telah melakukan berbagai program untuk mendorong kedaulatan di sektor TIK yang berkaitan erat dengan transformasi digital.
Tahun ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika di bawah pimpinan Johnny G. Plate mengungkapkan ada dua Program Prioritas sektor komunikasi dan informatika nasional, yaitu perkembangan Pembangunan Satelit Indonesia Raya (Satria) serta Target Indonesia Merdeka Sinyal 2020.
Perlu diingat, dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR pada Februari 2020, Johnny meralat target Indonesia Merdeka Sinyal. Ia menghapus angka 2020 itu. Padahal Merdeka Sinyal 2020 pertama kali diklaim Kemenkominfo pada pertengahan 2018 di era kepemimpinan Rudiantara yang percaya diri dengan adanya pembangunan BTS USO dan Palapa Ring.
Dalam catatan, merdeka sinyal yang dimaksud ini adalah layanan telekomunikasi seperti SMS dan telepon, belum ke akses internet. Johnny mengaku ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang belum menyentuh seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, terkait akses internet dan telekomunikasi, Johnny menyebutkan Satria yang merupakan satelit multifungsi yang akan diluncurkan ke slot orbit tahun 2022. Satelit dapat membantu pemerataan akses jaringan komunikasi dan internet broadband di seluruh Indonesia. Saat ini Indonesia masih memiliki 150 ribu titik yang tidak dapat akses internet cepat.
Satria ini akan mendukung daerah-daerah yang tak terjangkau jaringan tulang punggung (backbone) kabel optik Palapa Ring. Proyek yang digarap pemerintah lewat Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti).
"Kalaupun ada masih terbatas di kota-kota besar. Untuk tingkat kecamatan dan kelurahan hingga pedesaan sangat terbatas sekali dan masih banyak blank spot," kata Hasnil.
Oleh karena itu, mengingat satelit Satria baru ada pada 2022, Hasnil berharap agar pemerintah terus menggenjot pembangunan Based Transceiver Station (BTS) untuk mentransmisikan jaringan internet ke seluruh pelosok negeri.
Untuk diingat, Palapa Ring adalah proyek nasional pembangunan tulang punggung kabel serat optik, khusus untuk menjangkau daerah yang belum tersentuh internet. Itu artinya, infrastruktur ini memerlukan menara transmisi agar bisa sampai ke masyarakat.
Pengembangan lanjutan infrastruktur Palapa Ring dapat terus dilanjutkan hingga ke kecamatan, kelurahan bahkan hingga ke perumahan penduduk di kota 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal).
"Dengan demikian, semua fasilitas umum dan sosial seperti sekolah, rumah sakit, taman baca, taman bermain, gelanggang olahraga, pasar tradisional, dan tempat wisata bisa terjangkau internet," ujar Hasnil.
Dihubungi terpisah, Pengamat TIK dari Bentang Informatika Kun Arief Cahyantoro mengatakan Palapa RIng adalah proyek pembangunan jaringan serat optik nasional yang akan menjangkau sebanyak 34 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer, dan kabel di daratan adalah sejauh 21.807 kilometer.
Proyek ini telah lama diinisiasi oleh Kemenkominfo dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak tahun 2000-an, sebelum adanya terjadinya proses divestasi operator milik Pemerintah (Telkom dan Indosat) pada tahun 2002. Pembangunan dimulai pada 2008 dan diprediksi akan selesai pada 2013.
Namun karena proyek tak kunjung usai, proyek Palapa Ring direalisasikan kembali pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Palapa Ring akhirnya diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019.
Pembangunan Palapa Ring yang terbilang itu membuat kehadiran teknologi terbaru yang menggantikan jaringan tulang punggung pada 2007. Teknologi itu bernama Satelit VSAT (Very Small Aperture Terminal) sebagai pengganti tulang punggung telekomunikasi non kabel dan non fiber-optik.
Dari sisi implementasi, kondisi Indonesia yang memiliki banyak kepulauan dengan sebaran populasi yang tidak terpusat pada kota provinsi atau kota kabupaten tetapi "berpusat pada desa-desa".
"Menurut saya, di sinilah letak kurang tepatnya implementasi Palapa Ring dari sisi teknologi dan dari sisi implementasi," kata Arief.
Lihat juga:Marak Data Bocor, Butuh Taji UU Data Pribadi |
Hal ini membuat kesulitan bagi implementasi Palapa Ring yang hanya menjangkau garis terluar dari suatu pulau dan masih membutuhkan lagi kabel menuju ke tengah daratan pulau-pulau di mana desa-desa tersebut berada.
"Kesimpulan sementara, kedaulatan telekomunikasi kita masih sangat rendah, karena hanya sebatas kota dan kota kabupaten saja (514 kota) serta sekian banyak desa yang berdekatan dengan kota atau kota kabupaten, padahal terdapat 84 ribu desa yang membutuhkan kedaulatan telekomunikasi tersebut," ujar Arief
Lebih lanjut, Arief menyoroti pernyataan Jokowi yang menyebut soal kedaulatan data saat pidato perayaan kemerdekaan tahun lalu dan peresmian Palapa Ring pada Oktober 2020.
Bagi Arief, kedaulatan data inilah yang sebenarnya menjadi makna utuh dari kedaulatan telekomunikasi. Sinyal, internet, dan data center hanyalah 'alat pengantar' dari data itu.
Arief mengatakan dari sisi teknologi, penggunaan VSAT untuk mendorong kedaulatan data sangat dimungkinkan karena Indonesia telah memiliki satelit yang sudah beroperasi, yaitu satelit BRI dan satelit Palapa-4 untuk mendukung kedaulatan telekomunikasi dan internet di Indonesia.
Dari sisi implementasi, sejak tahun 2015 atas inisiatif mandiri dari Dinas Komunikasi dan Informasi Daerah di masing-masing kota kabupaten dan desa, mereka telah banyak mendirikan Jarit Desa (Jaringan Internet Desa) menggunakan fasilitas VSAT (terkadang mobile atau wifi) meskipun banyak terkendala karena biaya pulsa/koneksi ke operator/ISP.
Ia berharap agar pemerintah bisa memenuhi kebutuhan mendesak warga Indonesia dalam penerapan kerja dan sekolah dari rumah di kala pandemi Covid-19 ini.
"Solusi kedaulatan data menggunakan VSAT dan Jarit Desa, adalah solusi tercepat untuk kebutuhan mendesak saat ini terutama kebutuhan Pendidikan Nasional dalam bentuk mekanisme belajar-mengajar jarak jauh pada kondisi krisis apapun," kata Kun.
Dalam pidato 16 Agustus dan peresmian Palapa Ring Oktober tahun lalu, Jokowi secara khusus menyinggung soal data pribadi. Menurutnya, data merupakan komoditas atau jenis kekayaan yang baru atau 'the new oil' dan perlu dijaga kedaulatannya.
Uniknya, pemerintah malah menerbitkan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang diperbarui menjadi PP Nomor 71 Tahun 2019.
Tanggal penetapan pada 4 Oktober dan diundangkan pada 10 Oktober menunjukkan bahwa pidato Jokowi pada 16 Agustus, khususnya 14 Oktober soal kedaulatan data hanya asal bunyi. Pasalnya PP PSTE yang baru justru memperbolehkan penempatan pusat data di luar negeri.
Ketentuan itu disebutkan pada Pasal 21 Ayat 1 berbunyi "Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia."
Hanya data dengan klasifikasi tertentu yang wajib di taruh di dalam negeri. Namun, aturan soal klasifikasi jenis data dan ketentuan penyimpanan bakal diatur dalam Peraturan Menteri. Hal ini seperti yang tertuang dalam pasal 20 ayat 6 dan 7 di PP PSTE.
Sontak saja, pengesahan beleid pengganti PP Nomor 82 Tahun 2012 ini mendapat suara-suara sumbang. Komisi I DPR RI, justru mempertanyakan posisi Jokowi dalam kedaulatan data Indonesia.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta khawatir Jokowi tidak mengetahui isi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Sukamta menegaskan pengesahan PSTE berlawanan dengan kedaulatan data Indonesia yang disampaikan dalam pidato Jokowi.
Akibat revisi aturan itu, layanan cloud computing seperti Google, Amazon hingga Alibaba berlomba-lomba menghadirkan layanan komputasi awan di Indonesia. Google sendiri saat ini telah membangun pusat data center layanan Google Cloud.
Di sisi lain, pemerintah saat ini berencana membangun Pusat Data Nasional (PDN) dengan bantuan dana asing, salah satunya Prancis. Johnny mengatakan akan bisa menyatukan operasional 2.700 data center pemerintah sekaligus meningkatkan teknologi melalui layanan interoperabilitas.
Pemerintah membutuhkan PDN untuk memperkuat penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau e-government. Keberadaan PDN diharapkan dapat meningkatkan mengonsolidasikan data.
Hasnil mengatakan pada aturan PP 82 tahun 2012 menyebutkan lokasi pusat data bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib terletak di Indonesia. Sementara PP 71/2019 hanya mewajibkan penempatan pusat data di wilayah Indonesia bagi PSE lingkup publik, untuk lingkup privat diberikan kebebasan kepada penyelenggara sistem transaksi elektronik.
"Penyedia layanan pusat data (data center), cloud computing dari Aplikasi OTT (Over the Top) dari negara lain untuk menempatkan data centernya di wilayah Indonesia atau luar wilayah Indonesia alias tidak ada kewajiban berinvestasi bagi mereka di wilayah Indonesia," ujar Hasnil.
Bagi Hasnil, kebijakan pemerintah ini dianggap tidak sejalan dengan semangat dan prinsip kedaulatan data dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang diusulkan pemerintah ke DPR.
"Di samping itu ada potensi besar data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia dan akan menguntungkan negara pesaing kita di bisnis data center di ASEAN seperti Singapura, Thailand, hingga Malaysia," tutur Hasnil.
Di sisi lain, Kun tidak mempermasalahkan apabila Indonesia masih bergantung pada data center dari asing maupun swasta. Yang penting adalah kedaulatan data berupa keamanannya dijaga dan dikelola dengan baik.
"Pengelolaan keamanan data yang baik bukan terletak pada ketersediaan infrastruktur dan kecanggihan teknologi saja, akan tetapi yang terpenting pada kemampuan menjaga data secara utuh tanpa celah untuk terjadinya pencurian data dan terutama adalah menjaga pendistribusian data," ujar Kun.
Masalah terbesar keamanan data saat ini adalah penyebaran data secara luas yang tanpa jejak dan tersebar tanpa adanya kewenangan dari pihak pribadi sebagai pemilik data.
(jnp/mik)