Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI, Wien Kusharyoto merespons kemungkinan Indonesia bisa terbebas dari pandemi Covid-19 sebelum kehadiran vaksin.
Menurut Wien, hal itu bisa terjadi jika Indonesia menerapkan protokol kesehatan yang ketat, belajar dari penerapan protokol kesehatan ketat Taiwan atau Thailand.
"Sebetulnya kita bisa lihat kondisi Taiwan atau Thailand yang berhasil dalam menekan kasus infeksi untuk tetap sangat rendah. Penerapan protokol kesehatan yang ketat," ujar Wien kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wien menuturkan Taiwan dan Thailand bukan hanya sekadar menerapkan protokol menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker. Kedua negara itu juga ketat memerintahkan warganya menghindari kerumunan, terutama di ruangan tertutup.
Selain protokol kesehatan itu, dia menyampaikan Taiwan dan Thailand intensif melakukan pengetesan, pelacakan, dan perawatan.
Lebih lanjut, Wien memprediksi manusia akan hidup berdampingan dalam waktu cukup lama dengan virus SARS-CoV-2. Sehingga, vaksin akan tetap dapat digunakan agar seseorang dapat terhindar dari penyakit Covid-19.
"Meskipun belum dapat menjamin bahwa vaksin tersebut dapat mencegah infeksi dan kemudian mencegah penularan virus," ujarnya.
Di sisi lain, Wien berkata herd immunity juga harus bisa dicapai untuk menekan penyebaran virus. Akan tetapi, dia menyebut herd immunity membutuhkan waktu yang lama.
Misalnya, herd immunity terhadap penyakit campak dengan program vaksinasi dan monitoring yang ketat membutuhkan waktu hingga 15 tahun untuk mencapai 95 persen. Sedankan Covid-19 kemungkinan tidak jauh berbeda.
"Penularan masih dapat terjadi, terutama di antara mereka yang belum divaksinasi," ujarnya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman menyatakan karakter pandemi Covid-19 berbeda dengan SARS dan MERS. Dia menuturkan Covid-19 lebih didominasi kasus tidak bergejal dan cepat menular.
Kondisi itu, lanjut dia membuat Covid-19 berpotensi berlangsung lebih lama meski dengan vaksin sekali pun.
Terkait dengan hal itu, Dicky mengungkapkan ada dua opsi yang akan terjadi. Pertama, secara bertahap Covid-19 akan berkurang hingga pada level yang bisa diabaikan karena adanya vaksin yang aman dan obat yang definitf.
Selain itu, dengan terus melakukan strategi tes, lacak kasus kontak, dan isolasi karantina yang diperkuat dengan membiasakan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
"Opsi kedua, terburuk sdalah Covid-19 akan terus ada," ujar Dicky.
Lebih dari itu, Dicky menjelaskan vaksin sejatinya untuk mencegah agar kasus tidak menjadi parah. Misalnya, meringankan gejalan dan tidak menimbulkan kerusakan organ atau harus dirawat.
Sebelumnya, Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo meyakini Indonesia bisa bebas dari pandemi virus corona Covid-19 tanpa harus menunggu keberadaan vaksin maupun obat. Ia mengatakan ini karena keberadaan vaksin dan obat yang masih memakan waktu lama.
Kunci pemutusan mata rantai pandemi Covid-19 berada di kombinasi 3T (testing, tracing, dan treatment) serta 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan).
Kunci ini juga harus didukung dengan kebijakan lockdown atau Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) yang harus dituruti oleh masyarakat menghentikan mobilitas yang menjadi faktor penyebaran Covid-19.
"Kombinasi 3T, 3M dan dalam tanda kutip lockdown. Karena uji klinis vaksin belum tentu berhasil, jadi perlu langkah antisipatif," ujar Ahmad saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (13/9).
Ahmad mengatakan pandemi SARS dan MERS yang diakibatkan dengan virus corona yang mirip dengan virus SARS-CoV-2 dapat dituntaskan tanpa adanya vaksin dan obat. Sebab, kedua pandemi itu berakhir sebelum uji klinis selesai.
Namun patut diingat bahwa penyakit SARS dan MERS ini cukup mudah untuk diidentifikasi karena menimbulkan gejala bagi orang yang terinfeksi.
Sehingga pihak berwenang bisa dengan mudah melakukan isolasi para penderita ini. Di sisi lain, banyak pasien Covid-19 yang sama sekali tak menimbulkan gejala.
"Intinya pengendalian wabah SARS dan MERS mudah karena cukup fokus pada yang bergejala," kata Ahmad.
Ahmad menjelaskan mengapa pasien SARS dan MERS bisa menimbulkan gejala sementara pasien Covid-19 banyak yang tak menimbulkan gejala.
Menurut Ahmad, virus SARS-CoV-2 lebih menyukai untuk menginfeksi saluran napas atas, seperti rongga hidung, faring, dan laring sebagai tempat untuk bereplikasi. Hal ini mengakibatkan orang yang terinfeksi tak menyebabkan gejala.
Sekalipun ada gejala, Ahmad mengatakan banyak orang yang tak menyadari karena hanya sekedar gejala flu seperti sedikit pilek dan bersin.
"Infeksi rongga nafas atas tidak bikin sesak nafas. Dampaknya karena bereplikasi di rongga atas adalah gejala yang nampak tak begitu berat. Bahkan 80 persen orang tidak ada gejala atau sangat ringan, namun begitu sampai di paru, baru dia mulai nampak gejalanya," kata Ahmad.
(jps/mik)