Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menjelaskan soal kemanjuran vaksin corona yang efektivitasnya harus lebih dari 50 persen bila disuntikkan ke manusia.
Angka ini menurutnya berdasarkan kriteria efektivitas atau kemanjuran vaksin Covid-19 atau vaksin pada umumnya yang dinilai berdasarkan dua parameter dalam uji klinis.
Pertama adalah vaksin harus mampu mencegah penularan. Artinya vaksin mampu mencegah virus yang terhirup dari menginfeksi sel manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua adalah vaksin harus bisa mencegah gejala berat hingga kematian pasca infeksi Covid-19.
Dua parameter tersebut akan dihitung berdasarkan perbandingan insiden penularan antara kelompok plasebo (vaksin lainnya yang tidak diuji) sebagai kelompok kontrol dengan kelompok vaksin.
"Kalau di kelompok plasebo terjadi 100 insiden Covid-19, maka pada kelompok vaksin jumlah yang terkena Covid-19 tidak boleh lebih dari 50," ujar Ahmad saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).
Ahmad mengatakan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mematok kriteria vaksin efektif adalah 50 persen. Ia mengatakan akan lebih bagus apabila vaksin bisa melebih patokan persentase itu, misalnya memiliki persentase 70 persen.
Lebih lanjut, Ahmad mengungkap apabila efektivitas di bawah 50 persen, maka pengembang vaksin harus mencari bibit vaksin lain.
"Nah bagaimana kalau ternyata setelah uji klinis fase ketiga, efektivitasnya hanya 20-30 persen, ya itu tidak bagus. Harus mencari vaksin lain," kata Ahmad.
Untuk itu, Ahmad mengingatkan semua pihak tidak terburu-buru melakukan vaksinasi sebelum uji klinis membuktikan tidak adanya fenomena ADE (antibody dependent enhancement).
ADE adalah fenomena virus berikatan dengan antibodi untuk menginfeksi sel inang. Sehingga, virus malah menginfeksi sistem imun yang semestinya memerangi virus itu sendiri. Fenomena yang terjadi pada penyakit AIDS.
Namun, menurut Ahmad belum ada bukti ADE bisa terbentuk pada Covid-19 akibat infeksi virus SARS-CoV-2. Dijelaskan Ahmad ADE baru diketahui terbentuk pada orang yang terinfeksi virus corona sebelumnya, yakni SARS dan MERS.
Ahmad menuturkan ADE dapat menyebabkan gejala penyakit SARS dan MERS menjadi lebih buruk, meski telah menerima vaksinasi. Dalam studi SARS, ADE membuat paru-paru seekor kera mengalami kerusakan meski telah menerima vaksin dari virus yang inaktivasi.
Sedangkan pada Covid-19, dia mengatakan belum ada data yang dapat menunjukkan fenomena ADE. Oleh karena itu, dia mengingatkan pentingnya uji klinis sebuah vaksin untuk mengetahui ADE.
(jnp/eks)